Kisah Si Moci dan Itik Kecil

Pagi ini Moci sedang duduk diam menyendiri diatas pucuk pohon kapuk, ia belum menemukan kedua orang tuanya yang ditangkap pemburu, ia bersedih namun tetap tegar. Tiba-tiba ia melihat dibawah sana, nampak seekor itik kecil, ia berjalan terhuyung-huyung, menangis sesenggukan, air matanya mengalir deras tak henti. Wajahnya begitu muram, tak lagi memiliki semangat tersirat. Ia adalah itik buruk rupa nan bersahaja.

Moci yang baik hatinya merasa kasihan, kemudian ia mengepakkan sayapnya dan turun menjumpainya. “Mengapa engkau menangis, ada apa sahabatku?”, tanya Moci. Sang itik kecil terkaget tiba-tiba ada seekor burung kenari kecil, berwarna kuning cemerlang berada dihadapannya. Ia terdiam, lalu mundur beberapa langkah. “Namaku Moci, mengapa engkau menangis, ceritakanlah padaku?”, Moci membujuknya. Sang itik tetap membisu, ia mengira Moci sama dengan burung dan binatang lain yang hendak mencemoohnya karena ia tidak memiliki paras yang cantik.


“Kamu sepertinya lapar ya?”, kemudian Moci terbang sebentar ke atas pohon dan mengambilkan biji-bijian yang menjadi persediaan makanannya. “Makanlah ini..”, Moci menawarkan kepada sang itik malang itu. Karena kelaparan, sang itik kecil langsung mengambil makanan itu dan memakannya dengan lahap. “Nyam nyam..”, gumamnya, ia nampak begitu menikmatinya. Moci menjadi semakin iba. “Habiskanlah”, katanya lagi.

Hanya dalam waktu tiga menit biji-bijian itu telah habis disantap oleh sang itik. Ia begitu gembira, wajahnya nampak lebih cerah. “Terimakasih Moci”, kata dia, dengan suara yang agak parau. Moci membalasnya dengan senyuman. “Namamu siapa? Kamu darimana? Ceritakanlah kepadaku..”, Moci kembali mengajaknya mengobrol.

Sang itik tiba-tiba terdiam, lalu dia menangis. “Oh maafkanlah aku, apabila hal ini membuatmu bersedih”, Moci merasa bersalah telah menyuruhnya menceritakan tentang diri si itik. “Tidak apa-apa", jawab sang itik. Ia menyeka air matanya, sembari menangis sesenggukan. “Namaku Poki, kata sang itik kecil. Sang itik perlahan mulai menceritakan tentang dirinya kepada Moci, ia mulai percaya bahwa Moci adalah burung kecil yang baik, tidak seperti binatang lainnya yang bersikap jahat kepadanya.

Poki bercerita kisah hidupnya yang kini sendiri. Kedua orang tuanya telah meninggal karena diterkam dan dimangsa oleh Musang yang jahat. Poki adalah itik kecil yang buruk rupa, bulu-bulunya tidak cantik, ia juga tidak begitu pintar, dan tidak memiliki apapun. Saudara-saudaranya tidak mau hidup bersama Poki, hal ini dikarenakan Poki adalah saudara tiri bagi mereka, induk mereka menemukan Poki di bawah pohon saat mencari makan, karena kasihan melihat bayi Poki maka mereka merawat dan mengangkat poki menjadi salah satu anak mereka.

Setelah kematian kedua orang tua angkatnya Poki pun terusir dari saudara-saudara tirinya. Ia mencoba mencari teman, namun tidak ada binatang sebayanya yang mau berteman dengannya, mereka tidak mau bermain bersama karena dia jelek. Poki sangat bersedih. Kemudian ia pergi meninggalkan kampung dan berlari ke hutan, karena begitu sedihnya tidak memiliki siapapun, Poki merasa dirinya tidak berguna lagi hidup di dunia ini, ia beberapa kali mencoba untuk mengakhiri hidupnya. Pada suatu hari ia pernah menyerahkan diri kepada pemburu, kemudian dengan senang hati sang pemburu menangkapnya tanpa kesulitan. Namun begitu mereka tahu bahwa itik yang ditangkapnya itu buruk rupa maka mereka langsung melepaskannya kembali. “Ah itik jelek begini, pasti tidak laku dijual, buang saja”, kata seorang pemburu. Lalu dilemparkanlah Poki jauh-jauh. Ia tersungkur kesakitan. Lalu menangis, “Bahkan pemburu pun tidak mau padaku”. Lalu berjalan gontai pergi ke hutan.

Di hutan terdapat sebuah sungai besar yang dihuni oleh Seekor Buaya besar yang sangat terkenal dan ditakuti, buaya itu biasa memangsa penghuni hutan yang lain. Tanpa rasa gentar Poki berjalan menuju sungai itu. Ia merasa seperti tidak takut namun ternyata badannya gemetaran begitu sampai di tepian sungai. Sang buaya yang sedang mengendap-endap menanti buruannya langsung meluncur dengan kecepatan penuh menuju Poki. Ia menampakkan wajahnya yang menyeramkan dari dalam air, mulutnya menganga, suaranya bergemuruh, ia menampakkan gigi-giginya yang setajam silet, dan siap memangsa apapun yang ia dapatkan untuk makan siang. “Kebetulan sekali aku sedang lapar sekali, sudah dua minggu tidak makan”, gumam sang buaya.

Sang buaya justru terkaget begitu melihat calon mangsanya yang berdiri gemetaran di tepian sungai. “Tuan buaya, terkamlah aku, jadikan aku mangsamu siang ini”, kata Poki mengiba dengan suara serak ketakutan. Buaya yang masih terkaget semakin bingung melihatnya. Poki mengira sang buaya akan segera menelan ke dalam perutnya, ia memejamkan mata ketakutan. Namun ternyata sang buaya justru diam tak bergeming, tiba-tiba ia merasa tidak berselera makan setelah melihat itik kecil buruk itu. Ia langsung menyelam kembali, dan pergi meninggalkan Poki tanpa sepatah katapun.

Poki yang sudah tidak sabar lalu meneriaki sang buaya sambil terpejam, “Ayo makanlah aku, aku pasti santapan lezat untukmu siang ini”, teriaknya. “Ayo, ayo, kemarilah!!”, Poki justru semakin tidak sabar. Namun tidak ada sahutan apapun, suasana lengang. Karena penasaran kemudian Poki membuka matanya. Oh ternyata sang buaya telah pergi meninggalkannya. Poki sangat bersedih, bahkan buaya pun tidak doyan untuk memangsanya.

Masih ada satu harapan, ia lalu mencari perkampungan manusia. Disana ia berharap akan ditangkap oleh peternak dan dipelihara dipeternakan untuk kemudian disembelih dan dijual dagingnya di pasar. Dua hari perjalanan akhirnya Poki sampailah di kampung terdekat, ia berharap segera ditangkap. Sesampainya di perkampungan, yang terjadi justru orang-orang menatapnya dengan tatapan aneh, mereka saling berpandangan dan kemudian pergi mengeloyor, beberapa bahkan ada yang meludahi wajah Poki, sementara yang lain mengusirnya jauh-jauh. "Hhuh, itik jelek, jijik. Dia bisa menulari peliharaan yang lain dengan penyakit, dan pasti dagingnya pahit kalau dimakan, ayo kita usir!!!", kata manusia. Poki diusir kembali ke hutan beramai-ramai.

Poki begitu sedih, seluruh dunia tidak menerimanya, dia menyendiri di dalam hutan, berlindung dibawah pohon mahoni, hujan turun begitu lebat malam itu, Poki meratap dan berdoa kepada Tuhan. Ia sangat sedih, dan teringat akan kedua orang tua angkatnya, “Hanya mereka yang mau menyayangiku, tapi kini sudah tiada, bahagiakan mereka ya Tuhan”, gumam Poki dalam doanya, air mata berlinang membanjiri wajahnya. Tanpa tersadar dia tertidur pulas dibawah pohon Mahoni, tanpa makan apapun, ia tak menemukan biji-bijian, tak mampu mencari makan karena tidak bisa terbang, dan tiada cacing yang mau menjadi makanannya. Ia hanya bisa minum dengan air hujan yang segar, sekedarnya.

Begitulah cerita dari sang itik kepada Moci, sedari tadi ia mendengarkan dengan khidmat, tak terasa air mata Moci pun menetes. Ia begitu memahami perasaan sahabatnya itu. Ia kemudian teringat dengan kedua orang tuanya yang belum ditemukan hingga sekarang.
“Lalu apa yang sekarang engkau inginkan?”, Moci bertanya kepada Poki. “Tak ada”, jawab Poki pendek saja. Poki nampaknya begitu putus asa. “Jangan begitu sahabatku, engkau harus tetap semangat, lihatlah aku, aku pun punya kisah yang hampir sama denganmu, ayah-ibuku hilang ditangkap pemburu, namun aku tetap semangat mencarinya”, Moci menggebu-gebu. Ternyata cerita Moci tidak membuat Poki merasa lebih baik, ia tetap bersedih hati. “Lalu apa yang engkau inginkan?”, Kata Moci mendesaknya. “Moci, engkau adalah sahabat yang baik, tapi aku mau mengakhiri penderitaanku saja”, kata Poki. Moci melihat ada sesuatu yang berbeda dengan Poki. Lalu ia tertegun sebentar.

"Baiklah kalau begitu maumu, sekarang ikutilah saranku”, Kata Moci. “Apa itu Moci? Apakah bisa membuatku bahagia?”, balas sang itik. “Iya”, Moci tersenyum. “Pergilah kesana, disana ada tebing yang begitu tinggi, paling tinggi disini, berdirilah diujungnya, tetap tegar, tutup matamu, lalu perlahan jatuhkan dirimu ke jurang", Moci mengungkapkan dengan mantap. Sang itik kecil terdiam sejenak, dia mengangguk-anggk mengiyakan nasihat Moci, namun tampak ragu, bimbang, dan sedikit takut, wajahnya berkeringat, bulunya romannya berdiri. Poki tertunduk, berjalan lunglai, perlahan. Moci menatapnya dengan tertegun melihat Poki berjalan menuju bukit dimaksud, namun Moci tidak bereaksi untuk menahan, mencegah, atau merubah sarannya. Sesampainya di ujung bukit itu, sang itik menengok pada Moci, mungkin ingin mengatakan pesan terakhir, Moci berpura-pura cuek namun diam-diam tetap memperhatikannya. Poki terus melangkahkan kakinya, semakin lama semakin mantap, mungkin ia sudah sangat bosan dengan hidupnya yg menyedihkan, Moci hanya tersenyum.

Puncak,jurang itu kurang lebih memiliki kedalaman 120 meter, dibawahnya adalah sungai dengan jeram yg liar, batu-batu gunung yg besar dan kokoh. Raut wajah Poki makin pucat, matanya setengah terpejam, paruhnya gemetar, badannya menggigil, takutlah ia pasti. "Jika kau tidak melompat maka nyalimu tidak lebih besar dari keinginanmu utk lepas dari penderitaan!!", Moci meneriakinya. Perlahan Poki mundur, 10 langkah, Moci agak ragu apakah Poki akan membatalkan niatannya. Oops, tiba-tiba Poki berlari, ya,berlari...dengan kencangnya, secepat kijang, mengarah ke bibir jurang. Begitu sampai di mulut jurang, terhempaslah tubuhnya jatuh, meluncur menuju dasar dengan kecepatan melebihi cepatnya air hujan menghujam bumi .Tubuhnya limbung diterpa angin gunung, kini telah melampaui sepertiga tinggi jurang, dia tak berdaya, pasrah. Lima belas meter kemudia tiba-tiba sesuatu terjadi, sayap pada badannya mulai mengembang, matanya perlahan membuka, paruhnya tetap diam. Pada ketinggian dua pertiga tinggi jurang, sayapnya berkembang sempurna, ia mulai melawan arah angin yg membawanya ke dasar jurang, matanya terbuka, tajam, dan penuh motivasi. Dua belas meter kemudian dia mampu meluncur horizontal, sayapnya dikibas-kibaskan dengan gagah, bermanuver, ganti meluncur ke atas melewati bukit. Terlampau kencang ia terbang, hampir menembus awan diatas sana, dia bahkan tidak melihat ada Moci dibawah sana, ah dia berputar-putar, kemudian menghilang. Moci tersenyum puas, lalu ia pergi meninggalkan tempat itu.

Ayam berkokok pagi ini, matahari fajar melongok malu, segarnya tetes embun membuat Moci terbangun pagi ini, dengan mata masih setengah mengantuk ia terkaget. Dihadapannya telah bertengger manis sang itik buruk rupa itu, Poki. Ia tersenyum bahagia kepada Moci. “Moci terimakasih banyak atas saranmu, ternyata aku bisa terbang…dan ternyata..aku bukanlah itik, aku adalah burung belibis”, Poki melonjak-lonjak kegirangan. Moci hanya tersenyum, ia sebenarnya sudah tahu sejak awal bahwa Poki bukanlah itik biasa, ia adalah burung belibis yang tangguh. “Iya, sebentar lagi engkau akan berganti warna bulumu, dan berubah menjadi cantik”, ujar Moci.

“Moci, aku mohon pamit, aku telah menemukan kawanan burung belibis yang lain, mereka hendak bermigrasi ke selatan karena disana sedang musim semi, aku harap engkau tidak keberatan”, ternyata ini adalah pertemuan terakhir Poki dan Moci. Poki meneteskan air mata haru, begitu juga Moci, ia tak dapat menahan kesedihannya kehilangan sahabat barunya itu.

“Pergilah Poki, kejarlah kebahagiaanmu disana”, balas Moci, paruhnya gemetaran mengucapkannya. “Iya Moci, semoga engkau segera menemukan ayah-ibumu, maafkan aku tidak bisa membantu banyak, aku akan berdoa dari jauh sana”, Poki merasa kasihan terhadap Moci, ia ingin melakukan banyak hal namun tidak bisa. “Tak apa-apa, terimakasih Poki..”, lalu mereka berpelukan. Poki pun terbang, kawanannya telah menunggu diatas sana, lalu ia pergi, menjauh. “Suatu saat aku akan kembali….”, teriak Poki dari kejauhan. Dengan berlinang air mata Moci melambaikan sayapnya kepada Poki.


Kini tinggallah Moci sendiri lagi, ia harus melanjutkan perjalanannya mencari kedua orang tuanya.
“Semoga berhasil Moci”
, gumam Poki, matanya basah, ia melanjutkan perjalanannya menuju Australia.

(Bengkulu, 07 Mei 2012, 15.31 WIB)

Cerpen ini diadaptasikan dari kisah "Sang Itik Buruk Rupa", sebetulnya sudah pernah saya tulis di Linimasa twitter @frochadi kali ini saya mencoba menuliskan versi lain cerpen tentang burung belibis ini, memadukan dengan si Moci ternyata tetap menarik juga yaa ^^

Cerita tentang Moci sebelumnya saya muat dalam Blog Tumblr saya froch@rt silakan dikunjungi :)

Oh iya, cerpen ini juga saya ikutkan di #proyekfabel ; Mari Menulis Bersama yang digarap oleh @bintangberkisah cerita-cerita fabel yang sudah dikompilasikan dalam ebook bisa di download di #proyekfabel2012 :)

Salaam,

@frochadi

4 comments:

Powered by Blogger.