Mardikun,

Matahari telah lewat dari sepenggalah yang lalu, setengah siang sudah berlalu, aku kembali melirik jam, hadiah ulang tahun dari istriku, pada pergelangan tangan kiri. Buru-buru kuambil sepeda kumbangku, kukayuh begitu kencang, menerjang angin yang berdebu. Siang ini matahari begitu terik, dan aku tak percaya kalau hanya satu matahari yang bersinar di atas sana. Jalanan di desa belum beraspal, kerikil dan batu menyulitkanku mengayuh. Sepanjang jalan aku bersiul dan bersenandung, mencoba mengalihkan perhatian dari panas yang membakar kulit kepala, topiku tertinggal di rumah. Biasanya di persimpangan kampung kutemui penjual es buah, aku berhenti sejenak, kuraba saku kiri belakangku, kutemukan delapan ribu rupiah. Ah, cukup untuk membeli 2 bungkus es pikirku, sisanya masih bisa untuk membeli sayur dan lauk tempe tahu hari ini. Kembali kukebut sepeda reyotku, sepeda biru tua merk phoenix ini adalah warisan satu-satunya dari ayahku dulu, warna birunya sudah jauh memudar, rantainya yang berkarat akan berderit-derit menyakitki telinga ketika beradu dengan gir depan dan belakang yang minus pelumas, hanya setiap seminggu sekali kuberi pelumas minyak jelantah sisa menggoreng. Roda-rodanya sudah tidak bundar, terlalu banyak jeruji yang lepas karena seringkali kuberikan beban berat keranjang diatasnya. Sadelnya yang terbuat dari kulit hanya menyisakan per-per yang menyembul karena jahitan pada kulitnya sudah pada lepas. Ambeyenku sering kambuh dibuatnya. Dengan sepeda ini setiap hari aku bisa mengantarkan aku berangkat ke pabrik percetakan batu bata yang jaraknya 12 kilometer dari tempat tinggalku, menjual sayur di hari minggu ketika pabrik libur keliling dari desa ke desa, atau berboncengan dengan istriku di sore hari berjalan-jalan melihat kota yang jaraknya 15 kilometer jauh disana. Tiga kilometer menjelang rumahku ada pasar kecil, aku memarkirkan sepeda ditepian, aku menuju warung Mbok Dar, disana sisa uang kubelikan sayuran bayam, wortel, kol, beberapa bumbu dapur, dan 2 batang tempe serta tahu. Cukup sudah, aku berpamitan dan bergegas pulang. Ah sampailah aku di rumah, sepeda kuparkir dihalaman, menyandar pada pohon. Pohon mangga kesayangan istriku, dia sangat menyukai mangga dan pohon ini dulu kami tanam bersama agar suatu saat bisa kita panen dan nikmati bersama. Kebetulan sekarang sedang musim buah mangga, kusempatkan sebentar untuk memetik beberapa buah mangga yang agak masak sepertinya. Istriku pasti akan senang dengan yang aku bawa hari ini. Kubuka pintu rumahku, pintu kayu ini tidak terkunci dari dalam, sengaja seperti itu karena istriku tahu aku akan pulang disiang hari sehingga ia tak perlu repot-repot membukakannya untukku. Aku langsung menuju kamar, disana istriku telah lama menunggu. Ia masih terbaring tak berdaya, namun tetap menyambutku dengan senyuman yang selalu memberiku semangat untuk melanjutkan hidup dalam kondisi yang sulit ini. Pedih sekali setiap hari harus menyaksikannya tersiksa dalam sakit berkepanjangan, sayang sekali, namun aku pun tak mampu berbuat lebih seperti membawanya berobat ke Puskesmas. “Aku bawakan kesukaanmu, seperti biasa, es buah serta mangga setengah masak dari pohon mangga depan rumah kita”, kataku. Ia tak menjawab sepatah katapun, hanya kembali membalasnya dengan senyum. “Hari ini akan aku masakkan seperti biasa, sayur bayam dengan tempe dan tahu goreng kesukaanmu”. Aku menuju dapur, bahan-bahan yang telah kubeli segera kucuci bersih dan kumasak, aku telah terbiasa memasak sejak saat itu, sejak istri tercintaku hanya bisa terbaring lemah dan tersenyum setiap menatapku. Disetiap memasak selalu kubacakan doa-doa agar makanan ini baik dan berkah untuknya, sehingga ia bisa sehat seperti sedia kala. Setelah selesai, masakan kusajikan di meja kecil didekat dipan tempatnya berbaring, disitu juga telah kusiapkan es buah dalam mangkuk kecil, serta segelas air putih dan susu yang kubeli dari hasil menabung. Istriku sedang terlelap, aku tidak berani mengusiknya, biarlah ia nanti makan ketika telah terbangun. Aku segera mengenakan jaketku, berjingkat-jingkat keluar lalu kututup daun pintu perlahan, kuambil sepeda kutuntun hingga keluar halaman dan bergegas mengayuhnya, aku harus sampai kembali di pabrik sebelum jam dua, batas toleransi beristirahat siang. Aku bahkan belum sempat makan, namun masih punya sekerat roti sisa sarapan tadi pagi yang kubungkus plastik. Jam 17.00 buruh boleh meninggalkan pabrik, aku buru-buru menggenjot si biru, kali in tak perlu mampir kemana-mana karena uang lelah hari ini dalam saku untuk belanja esok siang. Tujuanku langsung menuju rumah dan menemui istriku. Sesampainya di rumah sepeda kuparkir didalam rumah, kusandarkan pada dinding kayu dekat jendela yang mengarah ke persawahan, kutatap cakrawala sejenak dan kuhela nafas panjang. Aku menuju kamar, segera menengok istriku. Dia hanya tersenyum, kulihat makanan yang kuberikan tiada disentuhnya. Mengapa? Aku pun tak tahu, ia selalu begitu, mungkin ia sedang tidak berselera, namun yang jelas itu semua adalah makanan kesukaannya. Aku tak berani menanyakan kepadanya mengapa, karena ia pasti hanya akan menjawab dengan sebuah senyuman, dan bagiku itu sudah lebih dari sebuah jawaban. Makanan ini terpaksa kubuang, kuberikan pada ayam-ayam di pekarangan belakang rumah. ……. Lonceng tanda istirahat pabrik berbunyi. “Oh tidak, aku terlambat!”. Seharusnya aku sudah mengayuh sepedaku 10 menit yang lalu sebelum lonceng berbunyi, agar istriku tidak terlambat makan siang ini. Aku mengayuh sepeda lebih kencang dari biasanya. Berhenti di perempatan untuk membeli es buah, serta mampir ke Warung Mbok Dar. “Seperti biasa ya Mbok..”, pintaku sambil mengeluarkan uang enam ribu rupiah. “Kok tiap hari belinya ini terus Kun?, opo ya kamu ndak bosen makan gini terus?”, Mbok Dar bertanya. “Oh enggak Mbok, ini yang suka istriku, dia hanya mau makan ini, bukan yang lain”, kuberikan uang enam ribu pada Mbok Dar, dan ia nampak tersenyum kecut sambil menatapku kasihan. Aku hanya membalasnya dengan senyum, “Maturnuwun ya Mbok..”, aku segera berkayuh-kayuh, suara derit rantai sepedaku perlahan menghilang meninggalkan warung Mbok Dar. “Kasihan sekali kamu nak, masih belum bisa melupakan istrimu”, Mbok Dar bergumam sambil menyeka air matanya. (Bengkulu; 13/06/2011; 18.10WIB) Efek harus bedrest selama beberapa hari di kamar kos karena sakit typus dan jauh dari orang-orang terdekat seringkali membuat hati menjadi melo. Mungkin lain kali ini bisa dibuat cerpen sehingga alurnya lebih panjang dan menarik kali ya... :)

6 comments:

  1. A great story, two thumbs for fajar... dilanjutkan ceritanya lagi ya :)

    ReplyDelete
  2. eeh ada Alie..makasiih,blogmu juga bagus, aku suka hehe

    ReplyDelete
  3. kale gan... semoga cepSemb yo! amin! :D

    ReplyDelete
  4. amiin..tengkyu gan 0klek..kita tanding lagi gan!! :D

    ReplyDelete
  5. A short history of tokyo
    http://student.blog.dinus.ac.id/mataharilanangpanggulu/2016/10/13/sejarah-singkat-tokyo-%e6%9d%b1%e4%ba%ac/

    ReplyDelete

Powered by Blogger.