Mijah,

Sudah sebulan lebih kehidupan di rumah ini berjalan terasa berbeda. Suamiku terasa sebagai orang lain bagiku, ia bukanlah lelaki yang dulu ku kenal adanya. Lebih banyak diam, tak pernah sedikitpun menyapaku, seolah menganggap aku tak ada, tiada suaranya kudengar ketika ia di rumah selain batuknya di malam hari ketika ia baru pulang bekerja. Ia mulai banyak sakit-sakitan. Aku amati wajahnya terlihat lima tahun lebih tua dari umurnya yang 37, berkumis tebal dengan jenggot lebat yang tidak pernah bercukur, rambutnya pun kian banyak yang putih. Tubuhnya yang dulu kekar kini terlihat kurus kuyu, hanya betisnya yang masih tampak kencang karena ia selalu mengayuh sepeda puluhan kilometer menuju pabrik setiap harinya. Namun kini ia tampak lebih rajin bekerja daripada dahulu, sekarang setiap selesai shalat shubuh ia sudah menyalakan tungku, memasak air. Lalu ia bersiap berangkat, setengah enam kurang dua puluh biasanya ia sudah mengeluarkan sepedanya, mengelapnya dan memarkir disandarkan pada pohon mangga di depan rumah. Sebelum berangkat bekerja ia hanya melongok sebentar di kamarku, kemudian berlalu tanpa mengucapkan sepatah katapun. Satu hal yang sudah sangat berbeda darinya. Tak ada lagi ciuman di keningku, dan sapaan hangat, “aku akan pulang nanti siang menjengukmu”, seperti dulu ia biasa lakukan. Aku tetap menunggu di siang hari, dimana biasanya ia akan menyempatkan untuk pulang sebentar, sekedar untuk bertemu dan makan siang bersama, biasanya ia yang memasakkan untukku. Namun tiada jua ia datang hingga matahari tergelincir begitu jauh dari ubun-ubun. “Ah sudahlah, mungkin ia sedang banyak pekerjaan sekarang ini…”, aku kembali ke kamarku. Entah mengapa rumah ini sekarang tidak sehangat dulu, meskipun setiap hari aku dan suamiku menempatinya, namun seakan hampa, kosong. “Mungkinkah karena sekarang ia berbeda?”. Adzan maghrib berkumandang dari Mushalla seberang sungai, matahari tenggelam dan menciptakan warna jingga luar biasa indahnya, bahagia seandainya bisa menikmati suasana sore ini berdua dengannya. Namun dimanakah orang yang aku cintai itu? Bahkan ia pun selalu pulang lebih larut dari biasanya. Aku menunggui di beranda rumah, duduk-duduk di bawah pohon mangga dan mengharap-harap ia kan datang sebelum maghrib tiba, dan kita bisa melaksanakan ibadah secara berjamaah seperti dulu lagi. Selalu saja sia-sia usahaku. Sehabis isya paling cepat ia baru pulang. “Kricik-kricik”, suara yang sangat tidak asing, suara gemerincing lonceng kecil pada sepeda birunya, lonceng ini sengaja aku ikatkan agar aku tahu ketika ia pulang, dan aku bisa segera berlari membukakan pintu dan mencium tangannya serta mengelap peluh yang telah membasahi keningnya. Aku melongok dari jendela kamar, ah benar saja ia telah pulang. Kali ini aku sengaja tidak membukakan pintu untuknya, kemarin-kemarin aku melakukan hal itu namun ia tidak memberikan reaksi apapun, aku mencoba menyalaminya namun selalu saja ia langsung bergegas ke dapur, mengambil minum lalu duduk dan diam saja, sapaanku tidak diindahkan, aku kesal dan kembali ke kamar. Ia tidak mengejarku, mendekatiku, atau apapun. Biarlah kali ini aku diam di kamar, apakah yang hendak ia lakukan kalau aku berbuat seperti ini. “Oh, Gusti...apakah salahku terhadap suamiku sehingga ia berlaku seperti ini, perbuatan jahatku apakah yang telah membuatnya kaku dan membisu terhadapku”, aku selalu menangis dalam doaku. Sudahkah ia bosan denganku, tidak menyukaiku, atau ia telah menemukan seseorang lain disana yang tidak aku ketahui yang membuat hatinya lebih bahagia dari apa yang aku bisa lakukan kepadanya selama ini. Aku tersedu-sedu di kamar, hampir setiap malam. Aku menelungkupkan diri ke kasur, menutup wajahku dengan bantal, bagaimanapun aku tak mau ia tahu aku menangis, aku takut ia menganggapku cengeng dan akan semakin benci denganku. Aku benci diriku sendiri, mengapa aku pun tak pernah tahu mengapa suamiku berbuat beda denganku, bodohnya aku sebodoh-bodohnya wanita yang tak mampu membuat suami bahagia, mungkin aku kurang pintar berdandan sehingga tidak Nampak cantik lagi, ataukah masakanku terlalu asin dan kurang pas lagi dilidahnya, ataukah karena hingga saat ini aku belum bisa memberinya buah hati? Ah biarlah sedih ini aku telan sendiri. Tak ada tempatku bercerita, aku yang sudah tidak memiliki siapa-siapa lagi, hanya ia suamiku yang aku punyai, dan kini sudah seperti orang lain saja. Saat malam telah bergulir biasanya ia akan melongok kamar ini. Ah itu dia suara langkahnya. “kriiiittt..”, suara pintu kamarku berderit, tampak suamiku, mengapa wajahnya begitu memelas, ia hanya mengucapkan “Selamat tidur sayang…”, lalu beranjak. Bahkan begitu jahatnya ia tidak mau tidur seranjang lagi denganku, satu kamarpun tidak mau. Sudah seringkali aku menegurnya, menanyakannya namun ia tetap diam membatu, membisu, tak berucap apapun, telinganya sepertinya sudah tuli mendengarkan suaraku, matanya bak buta tak lagi menganggapku ada, namun aku masih tetap begitu mencintainya, setidaknya hingga aku tahu mengapa ia seperti itu. Kebiasaan lain yang berubah yakni, ketika hari minggu libur bekerja, ia tak lagi pernah mengajakku jalan-jalan ke kota dengan sepeda berdua. Ia selalu pergi sendiri ketika pagi, membawa bungkusan plastik hitam, entah apa isinya, lalu pergi namun tidak membawa sepedanya, ia berjalan kaki. Aku yang sudah curiga, malam tadi mencuri-curi tahu apa isi dalam kantong plastik hitam itu. Setelah kubuka, isinya adalah bunga, aku terkejut, untuk apa ia pergi pada hari minggu dengan membawa bunga, pastilah untuk wanita lain agar senang hatinya ketika diberikan seikat bunga, darahku mendidih, jantungku berdebar kencang, nafasku memburu, emosi, aku cemburu, tidak pernah merasa secemburu kali ini. Aku mencoba menahan perasaanku, hingga nanti aku benar-benar bisa membuktikan dan menangkapnya basah ketika berpacaran dengan wanita itu. Pagi ini, hari minggu, setelah ia bersiap dengan semuanya diam-diam di dalam kamar akupun sudah bersiap-siap, aku akan mengikutinya. Ia melongok kamar wajahnya tampak muram dan bersedih, mungkin ia sedang bersandiwara, aku berpura-pura masih terlelap. Ia tak berkata apapun, lalu pergi. Sepedanya masih terparkir di dalam rumah saja, wanita itu pasti tidak jauh dari kampung ini, batinku. Ia keluar rumah, berjalan kearah selatan. Aku mengintip dari jendela, lalu keluar rumah perlahan, mengamati jalan mana yang ia ambil. Aku berjalan 100 meter dibelakangnya, beberapa kali terpaksa bersembunyi dibalik pohon, sepertinya ia merasa kalau ada yang mengikuti perjalanannya. Sudah hampir keluar dari kampung, namun ia tak kunjung berhenti, apakah wanita itu dari kampung sebelah?, aku tetap bersabar. Di persimpangan kampung ia mengambil arah kiri, menuju ke arah perkebunan, hendak bertemu siapakah ia di tempat sepi macam itu. 70 meter di depan ada sebuah pemakaman, oh, dia berbelok kesana. Aku semakin curiga dan ingin tahu, lalu berusaha mengambil jarak lebih dekat lagi dengannya, 30 meter dibelakangnya, sembari berlindung dibalik pepohonan besar. Manakah wanita itu, aku mengamati sekeliling nampak sepi-sepi saja, kulihat ia menuju kearah sebuah makam, lalu ia berjongkok dan menundukkan wajahnya, ia tampak mengelap air matanya, menangis. Aku mendekatinya perlahan, “Oh, namaku terukir pada nisan disana”. Aku gemetaran, aku berlari ke arah suamiku sekuatnya, namun terasa berat dan seperti tak akan pernah sampai… aku berdiri dibelakangnya, kupeluk ia dari belakang, namun aku tak mampu meraihnya. Bengkulu, 29/06/2011; 22.46WIB Setelah 2 minggu bedrest, mau tidak mau harus kembali ke Kabupaten Seluma-Bengkulu nih, meneruskan pekerjaan yang belum selesai2 jadwalnya o.O , meskipun saya sadar (sangat)belum bisa maksimal kerja di tim karena fisik yang masih terlalu lemah, ditambah terserang Flu sekarang ini. Wah wah..komplit…tapi tidak apa, belajar bersabar, lagipula katanya sakit dapat mengurangi dosa-dosa kita apabila dijalani dengan ikhlas, Alhamdulillah punya Ketua Tim dan Rekan Anggota tim yang luar biasa baiknya, segala kebaikan dari Tuhan untuk mereka, amin. haha maaf atas curcolnya.. Hoho, Masih saja tulisan saya bernada minor yaaa…hmm, bagi yang mengikuti flashfiction dalam blog ini, sebenarnya ini adalah lanjutan dari kisah “Mardikun” yang lalu, semoga tetap menarik dan nikmat dibaca  Minta saran dan keripiknnya yah dari teman2, Makasih..merci..maturnuwun.. ;)

4 comments:

  1. Hallo thank you for your support
    Alhamdulillah I already get collage in Unhas
    wow you have to visit makassar again
    there's so many place here, i know you haven't visit yet

    ReplyDelete
  2. how to solve the Rubik easily
    http://student.blog.dinus.ac.id/sasjepyusufal/2016/11/13/cara-mudah-menyelesaikan-rubik-3x3-untuk-pemula/

    ReplyDelete
  3. http://student.blog.dinus.ac.id/sasjepyusufal/2016/11/13/cara-mudah-menyelesaikan-rubik-3x3-untuk-pemula/
    http://student.blog.dinus.ac.id/mataharilanangpanggulu/2016/10/13/sejarah-singkat-tokyo-%e6%9d%b1%e4%ba%ac/
    http://student.blog.dinus.ac.id/c11eddomarselo28/2016/10/19/5-top-jajanan-enak-di-kota-semarang/
    http://student.blog.dinus.ac.id/pujiamimutiara/2016/07/24/mengenal-sistem-produksi-toyota/
    dicek nih sahabat

    ReplyDelete
  4. 😭,,lanjutan cerita mardikun ternyata,,keren 👍

    ReplyDelete

Powered by Blogger.