Filosofi Daun Kelor
Tak kusangka aku
bertemu kau seperti ini, di dunia baru yang tak pernah kuketahui, tak ada dalam
bayang, di benakku terangan. Pertama kulihat dirimu, dari kejauhan sana
nampaklah engkau bercahaya, berbeda dari kumpulan berjalan beriringan. Aku
terdiam saat itu, kuhentikan kayuhan sepedaku diujung pertigaan jalan,
menunggumu lewat didepanku. Tak kukedipkan kedua mataku, menikmati indahnya
hasil karya Tuhan Sang Maha Indah. Wajahmu yang ramah, matamu yang kecil dan
sayu, bibirmu yang tipis, dan pipimu yang merah dan merona, tak ayal telah
membuatku amnesia sesaat lamanya. Lima puluh tiga detik kumemandangmu, lupalah
sudah hendak kemana tadi tujuan sepedaku berarah. Engkau lewat begitu saja,
tidak angkuh tak jua peduli padaku, sang pria bersepeda biru tua. Aku tau
engkau sempat melirikkan kedua mata, meskipun hanya sekejap saja, namun jeli
tatapanku yang sedari tadi tak lepas darimu mampu menangkapnya. Seketika itupun
engkau memalingkan muka, entahlah mungkin semacam tak enak rasa. Kuhela nafas
sesaat, jantungku berdebar cepat, ada gelisah yang kurasa-rasa membuncah kuat.
Engkau telah berlalu, kini hanya aku dan sepedaku, dan juga lampu pertigaan
yang ternyata telah hijau. Segera kukayuh saja sepeda tua ini, berlari
sekencangnya lari, namun sambil aku berdoa dalam hati ini, semoga aku kan
bertemu dengannya lagi.
Tiga hari
berlalu:
Sore ini, aku
baru saja menyelesaikan ujian yang paling kutakuti. Mata kuliah yang paling
susah. Kuambil sepeda di parkiran kampus tercinta, kukayuh perlahan menuju
tempat tinggalku berada. Sesampainya di simpangan jalan Roddick, sepeda kuputar
balik, aku berubah pikiran dalam beberapa detik. Aku ingin menyendiri barang
sebentar saja, menenangkan hati yang tetiba gundah gulana. Kuarahkan sepeda ke
arah Old Town, tempat dimana orang-orang biasanya duduk-duduk sambil ngobrol
dan nonton. Kuparkirkan sepedaku di salah satu outlet kopi, kuingin duduk-duduk
menikmati secangkir espresso dari negeri sendiri yang ternyata banyak dijual
disini. Setelah kubayar beberapa lembaran dollar, kuambil kursi disudut paling
belakang, dimana tak ada orang berseliweran, memojok sambil memandangi
sekitaran. Di luar sana hujan rintik-rintik, airnya bergelombang, angin pun
bertiup pelan, menambah dinginnya suasana di jalanan. Untunglah aku sudah
mendarat di tempat yang nyaman dan hangat. Kubuka tas kecilku, kuambil laptop saja
untuk menulis sambil mengisi waktu. Kulihat mendung diatas sana, hujan turun
dengan deras seperti ada yang sedang memerah awan dengan keras. Kualihkan
pandanganku ke layar laptop, kumulai mengetik satu demi satu kalimat tanpa
kutau apa yang akan kutulis. Kuketikkan saja kata demi kata, biarlah mereka
yang merangkainya dengan irama. Pikiranku tak jua bisa fokus, seperti ada
masalah dalam hati yang masih terbungkus. Entah apakah karena ujian tadi yang
tak kurasa begitu bagus, ataukah karena pertemuanku kali itu denganmu yang
begitu membuatku merasa sesuatu. Ah, entahlah, kulanjutkan menuliskan apa saja.
Sepuluh menit
berlalu, tapi baru bisa kuselesaikan satu baris paragraf, kuteguk secangkir kopi
seharga lima dollar dengan harapan ia melancarkan pikiran dan perasaan. “Aah,
segar sekali aroma kopi nusantara, kopi hitam dari Sumatera yang dijual mahal
di outlet bermerk ternama”, aku bergumam sendiri. Kembali aku mencoba-coba
untuk merangkai kata, kukerahkan sepenuh hati dan pikiran untuk tetap fokus.
Kulihat diluar sana kendaraan berlalu lalang menerobos hujan, orang-orang
berlarian keluar dari perkantoran, halte, outlet pertokoan, dan kafe menjadi
tujuan. Beberapa masuk ke dalam kedai kopi tempatku menyendiri, kulihat mereka
berlari-lari sambil tertawa haha hihi. Aku tersenyum sendiri memandangi, hingga
akhirnya senyumku tiba-tiba berhenti. Diantara kerumunan kulihat seseorang yang
tak asing, seperti pernah kutemui disuatu hari. Ya, betul sekali, mataku tak
salah lagi. Itulah gadis timur berbaju abu-abu, bertas coklat tua, dan memiliki
rambut hitam mengkilat yang kutemui kemarin lalu di persimpangan waktu itu. Dia
masuk ke sini, ya Tuhan, hatiku menjadi tak karuan. Kulihat dia mengantri
dibelakang orang-orang, sepertinya hendak membeli kopi pun, seperti diriku. Aku
berangan-angan dia kan duduk tak jauh dariku, satu atau dua bangku disebelah
kanan atau kiri, menikmati kopi dan kemungkinan sambil membaca buku. Seperti
orang-orang yang kulihat disekelilingku, sibuk sendiri, mungkin mereka golongan
kutu buku, rayap yang menghabiskan beberapa dollar untuk tulisan-tulisan yang
kadang mereka sendiri pun tak faham. Kulihat dan kuamati gadis ini sedang
membayar kopi, kemudian ia memandang sekitar, sepertinya matanya tertuju ke arah
sekitarku. Ah benar saja, lihat, dia mulai berjalan ke arah sini, ada tiga
bangku kosong disebelah sisi kanan. Jantungku deg-degan tak karuan, gerogi
bukan kepalang. Dia pun duduk di salah satu bangku terdekat, ditariknya kursi
ke belakang, ditaruh tas coklatnya di meja, kemudian perlahan dia duduk, hingga
suatu ketika ia memalingkan wajahnya ke arahku yang sedari tadi mengikuti ingin
mencari tahu. Oh tidak, dia melihatku melihatnya, malulah aku, kupura-pura saja
meneruskan mengetik, kuambil cangkir kopiku dengan terburu-buru, lalu keminum,
tanganku gemetaran hingga cangkir tergoyang dan aku pun tersedak dan terbatuk-batuk.
Dia tersenyum, aku tau, karena sedari tadi salah satu mataku memicingkan ke
arahnya. Kemudian diambilnya sesuatu dari tasnya, dia menggeser kursi ke
arahku.
(Bersambung)
Chicago,
Desember 22, 2014; 10.19pm.
lnjutan nya dong mas
ReplyDeleteVery little gambling is permitted in Vermont to begin with, but there's a proposed bill to legalize cellular sports activities wagering in-state. Missouri had a number of} sports activities betting bills launched in recent years|in current times|lately} but the state hasn't taken action on them yet. Decide earlier than you start betting how much time 먹튀사이트 먹튀프렌즈 and money you're be} prepared to spend on gambling.
ReplyDelete