Opini: Perlunya Kebijakan Pemerintah Daerah Melindungi Pengusaha Retail Kecil dan Menengah



Tulisan lama (2017) di Harian Rakyat Bengkulu. Opini mengenai pembukaan keran pasar retail di Provinsi Bengkulu yang langsung disambut dengan menjamurnya toko retail nasional dan ternyata, berdasarkan observasi saya, telah mempengaruhi kemampuan persaingan toko retail lokal yang perlahan mulai menutup satu per satu toko. Setidaknya itu yang saya lihat atas kelangsungan hidup toko retail lokal di lingkungan sekitar saya tinggal, dan yang biasa saya singgahi untuk belanja. 

Berikut versi lengkap tulisan saya.

Perlunya Kebijakan Pemerintah Daerah Melindungi Pengusaha Retail Kecil dan Menengah Menghadapi Gempuran Perusahaan Retail Nasional di Bengkulu

 

Selama dua tahun belakangan ini nampak ada yang berbeda di Bengkulu, yakni munculnya gerai-gerai minimarket modern (convenience store) berskala nasional baik di Kota Bengkulu, maupun kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Bengkulu. Kemunculannya nampak sangat masif dari segi jumlah dan sporadis dari segi lokasi pembukaan gerai. Masuknya pemain nasional ke dalam pasar retail di Provinsi Bengkulu kemungkinan karena perkembangan perekonomian Provinsi ini cukup menarik dan mampu menguntungkan bagi pengusaha-pengusaha nasional untuk ikut berinvestasi. Berdasarkan data BPS, selama tiga tahun terakhir tingkat pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu berkisar antara 5 – 5,5% setiap triwulannya.

Masuknya pemain nasional di bidang retail yang menjual kebutuhan sehari-hari tentu membawa sensasi berbelanja yang baru dan berbeda bagi masyarakat Bengkulu. Konsumen yang selama ini terbiasa berbelanja di toko lokal dengan fasilitas dan pelayanan yang terbatas seperti mendapatkan penyegaran dengan adanya gerai-gerai yang nampak lebih  menarik dari segi dekorasi, penataan barang, jenis barang yang dijual, penampilan rapi pegawainya, pelayanan pegawai yang terlihat ramah, tempat belanja yang bersih dan dingin, serta adanya promo dan diskon yang menarik. Hal-hal tersebut sepertinya jarang sekali didapatkan apabila kita berbelanja di toko-toko lokal. Diantara dari kita mungkin ada yang pernah merasakan bagaimana kualitas pelayanan yang diberikan saat berbelanja di toko-toko lokal. Ruangan belanja yang panas, barang-barang tidak rapi dan berantakan, debu yang banyak menempel pada barang dagangan karena karyawan malas membersihkan setiap hari. Belum lagi saat kita baru masuk ke toko sering kali ada pegawai toko yang langsung mengikuti dan mengawasi pergerakan kita di dalam toko seolah-olah kita adalah pencuri, pada saat membayarpun masih ada hal-hal yang kurang mengenakkan seperti kasir, yang biasanya juga pemilik toko, yang memasang wajah judes dan tidak mau tersenyum, apalagi mengucapkan terima kasih kepada kita yang telah berbelanja. Tidak ada mindset dari pemilik toko bahwa Customer is the King, sehingga pelayanan yang diberikan oleh toko lokal kepada konsumen hanyalah seadanya. Mereka berpikir konsumenlah yang membutuhkan keberadaan toko, apalagi kalau selama ini tidak ada pesaing, dan toko tersebut merupakan satu-satunya yang selalu ramai pengunjung. Celah-celah inilah yang mampu diambil oleh gerai-gerai minimarket modern, memberikan hal-hal yang seharusnya menjadi hak konsumen untuk mendapatkan pelayanan prima yang selama ini tidak dapat diberikan oleh minimarket lokal.

Dibukanya gerai-gerai retail baru tersebut juga memberikan kesempatan pekerjaan baru kepada tenaga kerja muda yang belum memiliki pekerjaan ataupun memberikan alternatif pekerjaan lain bagi mereka yang ingin berpindah pekerjaan. Bekerja pada sebuah perusahaan mungkin lebih menjanjikan bagi para karyawan karena mereka terikat dengan kontrak yang jelas, mendapatkan gaji yang pasti dan mungkin tunjangan dan bonus. Selain itu, karyawan juga mendapatkan penilaian yang jelas. Mereka yang bekerja dengan baik dan berprestasi akan mendapatkan reward serta adanya kemungkinan peningkatan karir. Hal lain yang juga didapatkan adalah pemberian training atas pekerjaan mereka yang diberikan oleh perusahaan. Ini  merupakan investasi non-tangible bagi sumber daya manusia di Bengkulu karena selama ini hal semacam itu tidak diberikan oleh pengusaha pemilik usaha toko kecil dan menengah lokal. Munculnya pesaing-pesaing baru ini diharapkan akan meningkatkan iklim kompetisi antar pemilik toko yang diharapkan akan berdampak positif bagi konsumen. Pengusaha lokal mau tidak mau harus meningkatkan pelayanannya kepada konsumen agar loyalitas mereka tidak tergerus dan berpindah untuk berbelanja ke gerai-gerai minirmarket modern tersebut.

Lalu, apakah ada yang salah dengan masuknya pemain nasional ke Provinsi Bengkulu? Jawabannya adalah “tergantung”, tergantung dari kebijakan yang diambil oleh Pemerintah Daerah terkait. Setiap perseorangan atau korporasi tentu mempunyai hak untuk membuka usaha di setiap daerah di Indonesia asalkan memenuhi ketentuan yang dipersyaratkan serta mendapatkan ijin usaha dari pemerintah daerah bersangkutan. Tidak memberikan ijin pembukaan bisnis bagi saya merupakan hal yang kurang “fair” karena keberadaan mereka pun memiliki kontribusi positif, namun memberikan ijin operasi secara serampangan pun dikhawatirkan akan memberikan dampak-dampak negatif bagi pihak-pihak tertentu.

Berdasarkan pengamatan, gerai-gerai retail yang akhir-akhir ini banyak dibuka di Bengkulu dimiliki oleh dua perusahaan besar dan mereka bersaing dengan sangat ketat secara nasional. Diantara sengitnya persaingan kedua rival besar tersebut yang berkemungkinan menjadi korban adalah pengusaha toko retail lokal kecil dan menengah. Toko-toko retail lokal yang memiliki skala dan pangsa pasar yang sama dengan kedua minimarket modern tersebut. Mereka yang selama ini menikmati manisnya berbisnis retail di Bengkulu tiba-tiba harus berbagi kue dengan dua pesaing baru yang terlampau kuat untuk mereka.  Terbatasnya ‘kue’ konsumsi rumah tangga di Bengkulu dapat mengakibatkan turunnya omset bulanan yang pada akhirnya dapat mengakibatkan ditutupnya usaha. Berdasarkan hasil observasi saya pribadi, saya catat telah terdapat beberapa toko retail/kelontong di wilayah sekitar tempat saya tinggal, yang dulu merupakan tempat saya biasa berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ketatnya persaingan pada akhirnya menggilas kompetitor yang kalah berebut konsumen.

Keberadaan pemain retail besar di Bengkulu, yang notabene memiliki pasar yang terbatas, tentu saja membuat persaingan dengan usaha kecil menengah lokal menjadi tidak seimbang. Gerai minimarket modern level nasional memiliki capital yang sangat besar, terlampau besar untuk disaingi oleh usaha toko perorangan lokal. Perusahaan retail nasional mampu memberikan pelayanan dengan cost yang nampaknya tidak murah untuk toko lokal, seperti penataan display gerai dan barang secara modern dan menarik, pemasangan air conditioner (AC) di dalam gerai, jumlah karyawan yang mencukupi, training karyawan yang memadai, serta mampu menjual produk dengan harga lebih kompetitif (meskipun tidak selalu lebih murah) ataupun berani memberikan promo dan diskon tertentu yang dapat menarik konsumen. Perusahaan retail besar mampu membeli barang dari produsen atau distributor dalam jumlah yang sangat besar sehingga harga pembelian yang diberikan pun relatif lebih rendah. Saya sendiri pernah bekerja pada perusahaan distributor barang-barang konsumsi sehingga tahu perbedaan harga beli yang diberikan untuk perusahaan retail besar, menengah, dan kecil. Margin keuntungan perusahaan retail besar relatif jauh lebih menguntungkan dibandingkan toko-toko menengah atau kecil.

Meniru apa yang dilakukan oleh gerai retail modern secara fisik bukan hal yang mustahil dilakukan bagi toko kecil dan menengah, namun konsekuensi yang terjadi adalah meningkatnya biaya operasional yang pada akhirnya akan mengurangi keuntungan bisnis usaha. Keterbatasan sumber daya yang dimiliki usaha kecil dan menengah tidak mampu untuk mengikuti model bisnis seperti yang dilakukan oleh perusahaan retail besar. Ditambah lagi dengan kurangnya perhatian dan tindakan proaktif pemerintah daerah untuk membuat kebijakan yang melindungi usaha kecil dan menengah. Membiarkan mekanisme pasar berjalan apa adanya memang dapat menciptakan pasar yang efektif dan efisien, namun seringkali juga menciptakan inequalities atau ketimpangan karena mereka yang memiliki capital sedikit cenderung akan kalah bersaing dengan mereka yang memiliki capital besar.

Disinilah peran dari pemerintah daerah diperlukan. Pemberian ijin usaha bagi big business untuk masuk ke pasar lokal tentu bukan hal yang serta-merta dapat dikambinghitamkan. Namun ketika berbicara mengenai persaingan usaha yang timpang antara big business dengan usaha kecil menengah, pemerintah daerah seharusnya dapat mengambil diskresi kebijakan yang dapat membuat persaingan usaha menjadi lebih sehat. Dengan capital yang begitu besar, perusahaan-perusahaan retail nasional dapat dengan mudah mendirikan puluhan gerai dimana dan kapan saja, terlebih lagi dengan sistem waralaba yang mereka terapkan dalam pengelolaan bisnis tersebut yang membuka akses kepada masyarakat yang memiliki modal besar untuk berinvestasi membuka gerai. Karena itulah mengapa akhir-akhir ini kita temui pembukaan gerai-gerai secara masif dan sporadis. Hampir disetiap ruas jalan utama dapat kita temui kedua jenis minimarket modern tersebut. Pemerintah daerah seharusnya memberikan upaya pengendalian pada saat penerbitan izin sebelum akhirnya di masa depan perkembangannya menjadi semakin tidak terkontrol sehingga dampak negatifnya dapat mematikan usaha-usaha retail kecil dan menengah lokal.

Upaya pengendalian semacam itu telah dilakukan dibanyak daerah lain di Indonesia, atau bahkan ada daerah yang secara strict melarang perusahaan nasional yang bergerak dibidang retail kebutuhan sehari-hari masuk ke daerahnya dengan alasan untuk melindungi usaha retail kecil menengah lokal. Ada banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan oleh pemerintah daerah untuk melakukan kontrol tersebut, antara lain sebagai berikut:

1.       Memberlakukan ketentuan jarak tertentu dengan pasar tradisional. Pembukaan gerai-gerai minimarket modern dilarang apabila berdekatan dengan pasar tradisional, misalkan pada jarak satu kilometer. Hal ini dimaksudkan agar konsumen tetap berbelanja di pasar dan tidak teralihkan untuk berbelanja ke gerai minimarket modern;

2.      Penetapan radius tertentu antar gerai dari perusahaan retail yang sama atau sejenis. Pembukaan gerai minimarket modern diperbolehkan apabila dalam jarak radius tertentu, misalkan lima kilometer, tidak ada jenis gerai yang sama. Hal ini diperlukan agar perusahaan retail tidak menguasai wilayah-wilayah tertentu sehingga toko-toko lokal tidak kebagian ‘kue’ belanja masyarakat dan kehidupan mereka semakin terhimpit;

3.       Pembatasan jumlah pembukaan gerai baru per tahun. Perusahaan-perusahaan retail besar memiliki data-data yang masif. Mereka selalu memonitor dengan cermat pergerakan penjualan mereka setiap saat beserta potensi ekonomi yang dapat mereka garap. Saat mereka mengetahui bahwa prospek konsumen dan penjualan yang belum tergarap ternyata sangat besar, dengan kapasitas modal yang begitu besar tentu saja mereka ingin membuka gerai dengan jumlah seoptimal mungkin. Hal ini tentu saja akan semakin membahayakan keberadaan toko-toko lokal tidak hanya yang menengah namun juga kecil dan mikro. Pemerintah daerah dapat memberikan kontrol misalkan dengan pembatasan jumlah gerai baru per tahun adalah 10% dari jumlah existing tahun berjalan;

4.      Dengan keberadaan gerai minimarket modern yang turut mendulang untung di daerah, pemerintah daerah sebenarnya dapat juga memanfaatkan keberadaan gerai-gerai minimarket modern tersebut untuk ikut membangun UMKM di Bengkulu. Hal itu dapat dilakukan dengan menerapkan kewajiban bagi perusahaan retail untuk ikut berpartisipasi menjual barang-barang produksi dari supplier lokal. Sebagai contoh, setiap gerai minimarket modern diwajibkan memberikan space kosong untuk menjual produk-produk lokal, semisal kue bay tat/kerupuk ikan/lempuk durian. Penentuan siapa yang akan menjadi supplier bisa ditentukan oleh dinas-dinas terkait seperti Disperindagkop yang memiliki UMKM-UMKM binaan.

Pengendalian-pengendalian tersebut bermanfaat, selain untuk melindungi pengusaha kecil lokal, juga untuk menjaga agar perputaran uang yang selama ini ada di Bengkulu tidak serta-merta dibawa keluar daerah. Ketika toko-toko lokal memperoleh keuntungan, maka kemungkinan besar pemilik usaha yang merupakan penduduk daerah tersebut akan membelanjakan kembali uang/kekayaannya tetap di dalam daerah asal. Misalkan dengan berbelanja produk pada produsen lokal, pembelian property (rumah, tanah, kebun) di dalam daerah, atau pun mendirikan usaha lainnya yang pada akhirnya akan kembali menggerakkan perekonomian daerah setempat. Berbeda halnya dengan gerai-gerai retail level nasional yang ketika mendapatkan keuntungan akan disetorkan ke induk perusahaan yang lokasinya tidak berada di daerah setempat, serta dimiliki oleh pengusaha-pengusaha dari luar daerah. Jumlah uang yang didapatkan oleh perusahaan retail nasional yang berputar kembali di daerah asal relatif terbatas. Manfaat yang didapatkan oleh daerah tersebut kemungkinan hanya terbatas pada pembukaan lapangan pekerjaan, pajak dan retribusi daerah, serta hasil sumbangan dari corporate social responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan tersebut, apabila ada.

Persaingan antara pengusaha kecil dan menengah lokal dengan perusahaan-perusahaan besar yang berekspansi ke daerah sudah banyak diteliti di Amerika Serikat. Sebagai contoh yakni satu penelitian yang dilakukan oleh The Institute of Local Self-Reliance pada tahun 2003. Penelitian dengan judul The Economic Impact of Locally Owned Businesses vs. Chains A Case Study in Midcoast Maine mencoba menganalisis besaran kontribusi ekonomi yang diberikan oleh perusahaan retail nasional yang membuka gerai yang dibandingkan dengan kontribusi oleh toko-toko lokal di Kota Maine. Hasilnya diketahui bahwa usaha/toko lokal ternyata mampu membelanjakan pendapatannya sekitar 44,6% di lingkungan sekitar tempat mereka berada, sementara untuk perusahaan retail nasional hanya berkisar 14,1%, yang mayoritas hanya dari gaji yang diberikan kepada pegawai lokal. Selain itu, toko-toko lokal juga cenderung untuk membeli kebutuhan-kebutuhan tokonya dari supplier lokal, menggunakan bank lokal, serta menggunakan jasa tenaga-tenaga lokal dari daerahnya. Sementara itu untuk perusahaan retail nasional sebagian besar mendapatkan suplai kebutuhan dan menggunakan tenaga yang diperoleh dari kantor pusat mereka yang berada di luar kota. Begitu juga dengan kontribusi secara sosial, toko-toko lokal ternyata mampu mendonasikan sebesar 0.4% dari total penghasilan mereka selama satu tahun, sementara untuk perusahaan retail nasional hanya memberikan kontribusi seperempat dari donasi yang diberikan oleh toko-toko lokal tersebut. Ini adalah bukti empiris bahwa keberadaan toko-toko lokal ternyata mampu memberikan kontribusi lebih signifikan kepada komunitas lokal tempat dimana mereka berada. Hal ini dapat dijadikan alasan kuat mengapa keberadaan usaha atau toko lokal perlu dilindungi kelangsungan hidup bisnisnya dalam persaingannya dengan big business level nasional.

Pengendalian dari pembuat kebijakan diperlukan agar dapat terciptanya persaingan usaha yang seimbang. Kebijakan yang bisa memberikan win-win solution bagi kedua pihak. Disatu sisi mampu melindungi usaha kecil dan menengah namun di sisi lain tidak serta-merta menghambat dan merugikan pengusaha dengan modal besar untuk berinvestasi di Bengkulu. Persaingan yang sehat diperlukan untuk mencegah pasar retail hanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang dapat menciptakan monopoli pasar. Selain itu, persaingan ini membuka mata para pengusaha lokal agar tetap berinovasi dan berani memperbaiki pelayanan agar tidak kehilangan konsumen dan bisa tetap survive. Pada akhirnya, peningkatan pelayanan kepada konsumen dan harga yang kompetitif lah yang akan membuat masyarkat tetap setia berbelanja pada toko-toko tersebut.

 


No comments

Powered by Blogger.