Opini: Perlunya Kebijakan Pemerintah Daerah Melindungi Pengusaha Retail Kecil dan Menengah
Perlunya Kebijakan Pemerintah Daerah Melindungi
Pengusaha Retail Kecil dan Menengah Menghadapi Gempuran Perusahaan Retail
Nasional di Bengkulu
Selama
dua tahun belakangan ini nampak ada yang berbeda di Bengkulu, yakni munculnya
gerai-gerai minimarket modern (convenience store) berskala nasional baik di
Kota Bengkulu, maupun kabupaten-kabupaten lain di Provinsi Bengkulu.
Kemunculannya nampak sangat masif dari segi jumlah dan sporadis dari segi
lokasi pembukaan gerai. Masuknya pemain nasional ke dalam pasar retail di
Provinsi Bengkulu kemungkinan karena perkembangan perekonomian Provinsi ini
cukup menarik dan mampu menguntungkan bagi pengusaha-pengusaha nasional untuk
ikut berinvestasi. Berdasarkan data BPS, selama tiga tahun terakhir tingkat
pertumbuhan ekonomi Provinsi Bengkulu berkisar antara 5 – 5,5% setiap
triwulannya.
Masuknya
pemain nasional di bidang retail yang menjual kebutuhan sehari-hari tentu
membawa sensasi berbelanja yang baru dan berbeda bagi masyarakat Bengkulu. Konsumen
yang selama ini terbiasa berbelanja di toko lokal dengan fasilitas dan
pelayanan yang terbatas seperti mendapatkan penyegaran dengan adanya
gerai-gerai yang nampak lebih menarik
dari segi dekorasi, penataan barang, jenis barang yang dijual, penampilan rapi
pegawainya, pelayanan pegawai yang terlihat ramah, tempat belanja yang bersih
dan dingin, serta adanya promo dan diskon yang menarik. Hal-hal tersebut
sepertinya jarang sekali didapatkan apabila kita berbelanja di toko-toko lokal.
Diantara dari kita mungkin ada yang pernah merasakan bagaimana kualitas
pelayanan yang diberikan saat berbelanja di toko-toko lokal. Ruangan belanja
yang panas, barang-barang tidak rapi dan berantakan, debu yang banyak menempel
pada barang dagangan karena karyawan malas membersihkan setiap hari. Belum lagi
saat kita baru masuk ke toko sering kali ada pegawai toko yang langsung
mengikuti dan mengawasi pergerakan kita di dalam toko seolah-olah kita adalah pencuri,
pada saat membayarpun masih ada hal-hal yang kurang mengenakkan seperti kasir,
yang biasanya juga pemilik toko, yang memasang wajah judes dan tidak mau
tersenyum, apalagi mengucapkan terima kasih kepada kita yang telah berbelanja. Tidak
ada mindset dari pemilik toko bahwa Customer is the King, sehingga pelayanan
yang diberikan oleh toko lokal kepada konsumen hanyalah seadanya. Mereka berpikir
konsumenlah yang membutuhkan keberadaan toko, apalagi kalau selama ini tidak
ada pesaing, dan toko tersebut merupakan satu-satunya yang selalu ramai pengunjung.
Celah-celah inilah yang mampu diambil oleh gerai-gerai minimarket modern, memberikan
hal-hal yang seharusnya menjadi hak konsumen untuk mendapatkan pelayanan prima
yang selama ini tidak dapat diberikan oleh minimarket lokal.
Dibukanya
gerai-gerai retail baru tersebut juga memberikan kesempatan pekerjaan baru
kepada tenaga kerja muda yang belum memiliki pekerjaan ataupun memberikan
alternatif pekerjaan lain bagi mereka yang ingin berpindah pekerjaan. Bekerja pada
sebuah perusahaan mungkin lebih menjanjikan bagi para karyawan karena mereka terikat
dengan kontrak yang jelas, mendapatkan gaji yang pasti dan mungkin tunjangan dan
bonus. Selain itu, karyawan juga mendapatkan penilaian yang jelas. Mereka yang
bekerja dengan baik dan berprestasi akan mendapatkan reward serta adanya kemungkinan peningkatan karir. Hal lain yang
juga didapatkan adalah pemberian training
atas pekerjaan mereka yang diberikan oleh perusahaan. Ini merupakan investasi non-tangible bagi sumber daya manusia di Bengkulu karena selama ini
hal semacam itu tidak diberikan oleh pengusaha pemilik usaha toko kecil dan
menengah lokal. Munculnya pesaing-pesaing baru ini diharapkan akan meningkatkan
iklim kompetisi antar pemilik toko yang diharapkan akan berdampak positif bagi
konsumen. Pengusaha lokal mau tidak mau harus meningkatkan pelayanannya kepada
konsumen agar loyalitas mereka tidak tergerus dan berpindah untuk berbelanja ke
gerai-gerai minirmarket modern tersebut.
Lalu,
apakah ada yang salah dengan masuknya pemain nasional ke Provinsi Bengkulu?
Jawabannya adalah “tergantung”, tergantung dari kebijakan yang diambil oleh
Pemerintah Daerah terkait. Setiap perseorangan atau korporasi tentu mempunyai
hak untuk membuka usaha di setiap daerah di Indonesia asalkan memenuhi
ketentuan yang dipersyaratkan serta mendapatkan ijin usaha dari pemerintah
daerah bersangkutan. Tidak memberikan ijin pembukaan bisnis bagi saya merupakan
hal yang kurang “fair” karena keberadaan mereka pun memiliki kontribusi
positif, namun memberikan ijin operasi secara serampangan pun dikhawatirkan
akan memberikan dampak-dampak negatif bagi pihak-pihak tertentu.
Berdasarkan
pengamatan, gerai-gerai retail yang akhir-akhir ini banyak dibuka di Bengkulu
dimiliki oleh dua perusahaan besar dan mereka bersaing dengan sangat ketat
secara nasional. Diantara sengitnya persaingan kedua rival besar tersebut yang berkemungkinan
menjadi korban adalah pengusaha toko retail lokal kecil dan menengah. Toko-toko
retail lokal yang memiliki skala dan pangsa pasar yang sama dengan kedua
minimarket modern tersebut. Mereka yang selama ini menikmati manisnya berbisnis
retail di Bengkulu tiba-tiba harus berbagi kue dengan dua pesaing baru yang terlampau
kuat untuk mereka. Terbatasnya ‘kue’
konsumsi rumah tangga di Bengkulu dapat mengakibatkan turunnya omset bulanan
yang pada akhirnya dapat mengakibatkan ditutupnya usaha. Berdasarkan hasil
observasi saya pribadi, saya catat telah terdapat beberapa toko
retail/kelontong di wilayah sekitar tempat saya tinggal, yang dulu merupakan
tempat saya biasa berbelanja kebutuhan sehari-hari. Ketatnya persaingan pada
akhirnya menggilas kompetitor yang kalah berebut konsumen.
Keberadaan
pemain retail besar di Bengkulu, yang notabene memiliki pasar yang terbatas,
tentu saja membuat persaingan dengan usaha kecil menengah lokal menjadi tidak
seimbang. Gerai minimarket modern level nasional memiliki capital yang sangat besar, terlampau besar untuk disaingi oleh
usaha toko perorangan lokal. Perusahaan retail nasional mampu memberikan
pelayanan dengan cost yang nampaknya tidak
murah untuk toko lokal, seperti penataan display gerai dan barang secara modern
dan menarik, pemasangan air conditioner
(AC) di dalam gerai, jumlah karyawan yang mencukupi, training karyawan yang
memadai, serta mampu menjual produk dengan harga lebih kompetitif (meskipun
tidak selalu lebih murah) ataupun berani memberikan promo dan diskon tertentu
yang dapat menarik konsumen. Perusahaan retail besar mampu membeli barang dari
produsen atau distributor dalam jumlah yang sangat besar sehingga harga
pembelian yang diberikan pun relatif lebih rendah. Saya sendiri pernah bekerja
pada perusahaan distributor barang-barang konsumsi sehingga tahu perbedaan
harga beli yang diberikan untuk perusahaan retail besar, menengah, dan kecil.
Margin keuntungan perusahaan retail besar relatif jauh lebih menguntungkan dibandingkan
toko-toko menengah atau kecil.
Meniru
apa yang dilakukan oleh gerai retail modern secara fisik bukan hal yang
mustahil dilakukan bagi toko kecil dan menengah, namun konsekuensi yang terjadi
adalah meningkatnya biaya operasional yang pada akhirnya akan mengurangi
keuntungan bisnis usaha. Keterbatasan
sumber daya yang dimiliki usaha kecil dan menengah tidak mampu untuk mengikuti
model bisnis seperti yang dilakukan oleh perusahaan retail besar. Ditambah lagi
dengan kurangnya perhatian dan tindakan proaktif pemerintah daerah untuk membuat
kebijakan yang melindungi usaha kecil dan menengah. Membiarkan mekanisme pasar berjalan
apa adanya memang dapat menciptakan pasar yang efektif dan efisien, namun
seringkali juga menciptakan inequalities atau
ketimpangan karena mereka yang memiliki capital
sedikit cenderung akan kalah bersaing dengan mereka yang memiliki capital besar.
Disinilah
peran dari pemerintah daerah diperlukan. Pemberian ijin usaha bagi big business untuk masuk ke pasar lokal tentu
bukan hal yang serta-merta dapat dikambinghitamkan. Namun ketika berbicara mengenai
persaingan usaha yang timpang antara big
business dengan usaha kecil menengah, pemerintah daerah seharusnya dapat
mengambil diskresi kebijakan yang dapat membuat persaingan usaha menjadi lebih
sehat. Dengan capital yang begitu
besar, perusahaan-perusahaan retail nasional dapat dengan mudah mendirikan
puluhan gerai dimana dan kapan saja, terlebih lagi dengan sistem waralaba yang
mereka terapkan dalam pengelolaan bisnis tersebut yang membuka akses kepada masyarakat
yang memiliki modal besar untuk berinvestasi membuka gerai. Karena itulah mengapa
akhir-akhir ini kita temui pembukaan gerai-gerai secara masif dan sporadis. Hampir
disetiap ruas jalan utama dapat kita temui kedua jenis minimarket modern
tersebut. Pemerintah daerah seharusnya memberikan upaya pengendalian pada saat
penerbitan izin sebelum akhirnya di masa depan perkembangannya menjadi semakin
tidak terkontrol sehingga dampak negatifnya dapat mematikan usaha-usaha retail
kecil dan menengah lokal.
Upaya
pengendalian semacam itu telah dilakukan dibanyak daerah lain di Indonesia,
atau bahkan ada daerah yang secara strict
melarang perusahaan nasional yang bergerak dibidang retail kebutuhan
sehari-hari masuk ke daerahnya dengan alasan untuk melindungi usaha retail
kecil menengah lokal. Ada banyak hal yang sebenarnya dapat dilakukan oleh
pemerintah daerah untuk melakukan kontrol tersebut, antara lain sebagai berikut:
1.
Memberlakukan
ketentuan jarak tertentu dengan pasar tradisional. Pembukaan gerai-gerai minimarket
modern dilarang apabila berdekatan dengan pasar tradisional, misalkan pada
jarak satu kilometer. Hal ini dimaksudkan agar konsumen tetap berbelanja di
pasar dan tidak teralihkan untuk berbelanja ke gerai minimarket modern;
2.
Penetapan
radius tertentu antar gerai dari perusahaan retail yang sama atau sejenis. Pembukaan
gerai minimarket modern diperbolehkan apabila dalam jarak radius tertentu,
misalkan lima kilometer, tidak ada jenis gerai yang sama. Hal ini diperlukan
agar perusahaan retail tidak menguasai wilayah-wilayah tertentu sehingga
toko-toko lokal tidak kebagian ‘kue’ belanja masyarakat dan kehidupan mereka semakin
terhimpit;
3.
Pembatasan
jumlah pembukaan gerai baru per tahun. Perusahaan-perusahaan retail besar
memiliki data-data yang masif. Mereka selalu memonitor dengan cermat pergerakan
penjualan mereka setiap saat beserta potensi ekonomi yang dapat mereka garap.
Saat mereka mengetahui bahwa prospek konsumen dan penjualan yang belum tergarap
ternyata sangat besar, dengan kapasitas modal yang begitu besar tentu saja
mereka ingin membuka gerai dengan jumlah seoptimal mungkin. Hal ini tentu saja
akan semakin membahayakan keberadaan toko-toko lokal tidak hanya yang menengah
namun juga kecil dan mikro. Pemerintah daerah dapat memberikan kontrol misalkan
dengan pembatasan jumlah gerai baru per tahun adalah 10% dari jumlah existing tahun berjalan;
4.
Dengan
keberadaan gerai minimarket modern yang turut mendulang untung di daerah,
pemerintah daerah sebenarnya dapat juga memanfaatkan keberadaan gerai-gerai
minimarket modern tersebut untuk ikut membangun UMKM di Bengkulu. Hal itu dapat
dilakukan dengan menerapkan kewajiban bagi perusahaan retail untuk ikut berpartisipasi
menjual barang-barang produksi dari supplier
lokal. Sebagai contoh, setiap gerai minimarket modern diwajibkan memberikan space kosong untuk menjual produk-produk lokal, semisal kue bay tat/kerupuk
ikan/lempuk durian. Penentuan siapa yang akan menjadi supplier bisa ditentukan oleh dinas-dinas terkait seperti
Disperindagkop yang memiliki UMKM-UMKM binaan.
Pengendalian-pengendalian
tersebut bermanfaat, selain untuk melindungi pengusaha kecil lokal, juga untuk
menjaga agar perputaran uang yang selama ini ada di Bengkulu tidak serta-merta dibawa
keluar daerah. Ketika toko-toko lokal memperoleh keuntungan, maka kemungkinan
besar pemilik usaha yang merupakan penduduk daerah tersebut akan membelanjakan kembali
uang/kekayaannya tetap di dalam daerah asal. Misalkan dengan berbelanja produk
pada produsen lokal, pembelian property (rumah, tanah, kebun) di dalam daerah,
atau pun mendirikan usaha lainnya yang pada akhirnya akan kembali menggerakkan
perekonomian daerah setempat. Berbeda halnya dengan gerai-gerai retail level
nasional yang ketika mendapatkan keuntungan akan disetorkan ke induk perusahaan
yang lokasinya tidak berada di daerah setempat, serta dimiliki oleh
pengusaha-pengusaha dari luar daerah. Jumlah uang yang didapatkan oleh
perusahaan retail nasional yang berputar kembali di daerah asal relatif
terbatas. Manfaat yang didapatkan oleh daerah tersebut kemungkinan hanya
terbatas pada pembukaan lapangan pekerjaan, pajak dan retribusi daerah, serta
hasil sumbangan dari corporate social
responsibility (CSR) dari perusahaan-perusahaan tersebut, apabila ada.
Persaingan
antara pengusaha kecil dan menengah lokal dengan perusahaan-perusahaan besar
yang berekspansi ke daerah sudah banyak diteliti di Amerika Serikat. Sebagai
contoh yakni satu penelitian yang dilakukan oleh The Institute of Local Self-Reliance pada tahun 2003. Penelitian dengan
judul The Economic Impact of Locally
Owned Businesses vs. Chains A Case Study in Midcoast Maine mencoba
menganalisis besaran kontribusi ekonomi yang diberikan oleh perusahaan retail
nasional yang membuka gerai yang dibandingkan dengan kontribusi oleh toko-toko
lokal di Kota Maine. Hasilnya diketahui bahwa usaha/toko lokal ternyata mampu membelanjakan
pendapatannya sekitar 44,6% di lingkungan sekitar tempat mereka berada,
sementara untuk perusahaan retail nasional hanya berkisar 14,1%, yang mayoritas
hanya dari gaji yang diberikan kepada pegawai lokal. Selain itu, toko-toko
lokal juga cenderung untuk membeli kebutuhan-kebutuhan tokonya dari supplier lokal, menggunakan bank lokal,
serta menggunakan jasa tenaga-tenaga lokal dari daerahnya. Sementara itu untuk
perusahaan retail nasional sebagian besar mendapatkan suplai kebutuhan dan
menggunakan tenaga yang diperoleh dari kantor pusat mereka yang berada di luar
kota. Begitu juga dengan kontribusi secara sosial, toko-toko lokal ternyata mampu
mendonasikan sebesar 0.4% dari total penghasilan mereka selama satu tahun,
sementara untuk perusahaan retail nasional hanya memberikan kontribusi
seperempat dari donasi yang diberikan oleh toko-toko lokal tersebut. Ini adalah
bukti empiris bahwa keberadaan toko-toko lokal ternyata mampu memberikan
kontribusi lebih signifikan kepada komunitas lokal tempat dimana mereka berada.
Hal ini dapat dijadikan alasan kuat mengapa keberadaan usaha atau toko lokal
perlu dilindungi kelangsungan hidup bisnisnya dalam persaingannya dengan big business level nasional.
Pengendalian
dari pembuat kebijakan diperlukan agar dapat terciptanya persaingan usaha yang
seimbang. Kebijakan yang bisa memberikan win-win
solution bagi kedua pihak. Disatu sisi mampu melindungi usaha kecil dan
menengah namun di sisi lain tidak serta-merta menghambat dan merugikan pengusaha
dengan modal besar untuk berinvestasi di Bengkulu. Persaingan yang sehat diperlukan
untuk mencegah pasar retail hanya dikuasai oleh perusahaan-perusahaan besar yang
dapat menciptakan monopoli pasar. Selain itu, persaingan ini membuka mata para
pengusaha lokal agar tetap berinovasi dan berani memperbaiki pelayanan agar tidak
kehilangan konsumen dan bisa tetap survive.
Pada akhirnya, peningkatan pelayanan kepada konsumen dan harga yang kompetitif
lah yang akan membuat masyarkat tetap setia berbelanja pada toko-toko tersebut.
Leave a Comment