Tuan Penghuni Taman (Cerpen)
Badai salju baru saja berhenti,
seminggu sudah kota ini dihujani rintik-rintik salju yang turun tanpa jeda
selama 7 hari lamanya. Jarum jam menunjukkan angka empat, pukul 04.15pm atau
jam 4 sore tepatnya. Meskipun masih sore tapi langit sudah gelap. Begitulah,
saat musim dingin matahari turun lebih cepat. Tak betah ia berlama-lama singgah
di langit belahan dunia yang kerap dingin ini. Kusingkap tirai jendela, suasana
di Polk Street depan apartemen nampak
lengang. Temaram kekuningan lampu jalan yang selalu menyala semakin membuat
suasana syahdu. Gereja di seberang pun nampak sepi. Jalanan tertutup warna
putih salju, tak tahu lagi mana jalan aspal dan mana trotoar. Badai hari ini
begitu derasnya mengucurkan es dari langit. Sebentar lagi akan terdengar suara
truk pengeruk salju berderu-deru menyingkirkan bongkahan serutan es ke tepian jalan
dan menebarkan garam untuk mencairkan es. Disaat orang-orang berdiam diri
menghangatkan diri di rumah, mereka sibuk bekerja membuat kondisi jalan layak
dilalui kendaraan bermotor. Mulia sungguh pekerjaan seperti itu, apalagi jika
dilakukan dengan keikhlasan dan dedikasi. Bersyukurlah kita masih ada
orang-orang yang mau bekerja untuk hal-hal kecil yang sebenarnya membawa banyak
manfaat, tapi kita terkadang lupa berterima kasih dengan keberadaan pekerjaan
mereka.
Bergegas bersiap, segera ku shalat
maghrib dan menyiapkan tas. Tidak ada adzan di sini, sudah satu tahun lebih aku
tidak mendengar suara adzan secara langsung. Satu-satunya cara dengan menyetel
pada reminder aplikasi di ponsel. Maghrib
saat ini datang jam empat sore, lebih sedikit. Ada kuliah malam ini jam 06.00
pm dengan Profesor Thomp. Salah satu profesor yang terkenal sangat disiplin. Terlambat
lebih dari 15 menit sudah pasti tak boleh mahasiswa masuk kelas. Ia juga
terkenal memberikan nilai dengan sangat hati-hati. Luput sedikit kita
mengerjakan tugas, bisa-bisa nilai C menghiasi transkrip semesteran, tak ada
remidi, kurang ya kurang. Tugas pun tak pernah berhenti, setiap masuk kelas
pasti selalu ada tugas, minimal satu, seringkali banyak. Tugas tidak melulu paper, itu paling mudah. Biasanya ada
juga presentasi mandiri, presentasi kelompok, debat atas kebijakan tertentu
yang sedang menjadi topik, dan macam-macam lainnya. Tugas untuk hari ini sudah
kusampaikan sejak kamis lalu, karena memang deadline
hari Kamis pukul 11.59pm. Hari Jumat adalah hari penghakiman atas
tugas-tugas dan langsung keluar nilai pada Jumat malam. Meskipun pelit nilai,
beliau sangat fair. Tugas yang
dikumpulkan dibacanya satu per satu, kalimat per kalimat, kata per kata, huruf
per huruf. Setiap ada salah ketik satu huruf akan diberikan coretan,
salah-salah kata akan dikoreksi, apalagi salah kalimat. Apabila tugas kita
baik, tak pelit ia memberikan sanjungan, membuat mahasiswanya berbunga-bunga,
terutama aku yang berasal dari negeri jauh di ufuk Timur sana, negeri dunia
ketiga yang sedang berkembang dan masyarakat sepertiku mengidam-idamkan
pendidikan di negara maju. Aku adalah satu dari dua mahasiswa asing di kelas
Prof. Thomp, satu lagi adalah L. Zang, mahasiswi dari China. Selebihnya 21
orang adalah mahasiswa lokal semua, Americans.
Meskipun kami berdua mahasiswa asing, Profesor tak membedakan, alias aku
diperlakukan sama dengan mahasiswa Amerika lainnya. Pernah kubertanya ke
Profesor bagaimana kalau Bahasa Inggrisku di esai-esai yang kubuat jelek. “I treat everyone in this class equally, no
special treatment for you,” begitu saja jawabnya. Jantungku berdebar saat
itu, takut-takut esai dan tugas-tugasku berantakan, nilainya jeblok, dan harus
mengulang.
Laptop dan buku catatan sudah
siap, tugas untuk hari ini juga sudah aku print
pagi tadi di perpustakaan. Hari ini ada tugas yang perlu print out, agak jarang-jarang karena
mereka lebih suka kerja paperless, tapi
terkadang ada. Makan malam sudah aku siapkan dalam kotak makan, biasanya kumakan
saat break di kelas. Satu pertemuan adalah tiga jam, dan ada break di setiap 1,5jam, selama 15 menit.
Tak mungkin aku menyiapkan makanan Indonesia yang kaya rempah, begitu kotak
makan dibuka bisa geger satu kelas karena harumnya bumbu-bumbu kita. Sandwich adalah pilihan paling masuk
akal, mudah, murah, dan cepat penyajiannya. Kopi juga sudah aku seduh. Stok
kopi yang kubawa dari Indonesia masih sangat cukup, sengaja aku hemat-hemat.
Agak terasa hambar jadinya karena kuseduh sedikit kopi dengan rasio air yang
lebih banyak. Karena sekarang sedang musim dingin, kopi sengaja aku tambah
dengan serbuk jahe. Ini juga aku bawa dari negeri sendiri, sudah kupersiapkan
jauh-jauh hari untuk menghadapi musim dingin yang menggigit. Aku bawa beberapa
kotak untuk persediaan, semoga tidak keburu kadaluwarsa. Tak lupa kusiapkan
botol minum untuk air putih. Mengisinya tinggal kubuka kran air di dapur, pilih
air dingin yang memang terasa dingin sekali dimusim salju ini. Mau berangkat
kuliah tiga jam, sudah berasa mau piknik seharian.
Aku tak mandi sore ini, tak juga
tadi pagi. Mandi selama musim dingin hukumnya tidak wajib. Tak ada yang dapat
membujukku untuk beranjak ke kamar mandi dan menyalakan kran shower. Mandi dua kali seminggu saja
sudah menjadi pencapaian luar biasa selama Winter.
Dinginnya cuaca serasa membekukan darah disekujur tubuh. Kalopun harus mandi,
langsung buru-buru putar kran dan memilih air hangat. Kucuran air hangat serasa
melelehkan gumpalan-gumpalan es yang ada di dalam tubuh. Kenikmatan mandi air
hangat saat Winter melebihi apapun
yang kamu sukai. Kehangatan selimut tebal akan kalah, suasana mie rebus pun
lewat. Hangatnya air shower saat Winter
adalah candu, sehingga ketika kau berada di bawahnya, kau tak ingin lekas-lekas
beranjak dan akhirnya terjebak berjam-jam membiarkan dirimu dihujani air
bersuhu diatas rata-rata suhu tubuh hingga tak sadar kulit di jari-jarimu mulai
mengeriput. Begitu kau matikan shower, mengenakan handuk, dan menyibak tirai
kamar mandi, serangan hawa dingin langsung menyeruak, kembali menusuk-nusuk
kulitmu. Pertahanan suhu hangat dari shower runtuh seketika. Ingin rasanya
segera masuk kamar, mengenakan jaket tebal bulu domba, dan berdiri mematung dibawah
penghangat ruangan. Bahkan untuk mandi pun menciptakan drama, sungguh repot
sekali manusia yang tinggal di belahan bumi sini. Di kampungku sana, tak ada
cerita seperti ini. Semua suka mandi, cuacanya panas, membuat setiap orang
berkeringat, ingin rasanya setiap enam jam sekali mandi.
Aku hanya perlu menyemprotkan
parfum murah yang kubeli saat diskon besar-besaran di Amazon akhir tahun di
badanku. Kusemprot banyak-banyak untuk menyamarkan bau badanku. Kulapis seluruh
tubuh dengan layer pakaian anti dingin berupa thermal underwear, lalu baju terluar, dan kemudian jaket tebal.
Topi kupluk tebal pun siap, penutup telinga macam, earphone, sarung tangan kulit tebal, serta sepatu boots semata kaki pun sudah, dengan kaos
kaki berbahan wool setinggi betis. Tak
lupa kupakai balaclava, penutuh
wajah. Dinginnya Winter di Chicago
bahkan sampai menusuk-nusuk kulit wajah, terutama saat ada angin, dan pastinya angin
selalu berhembus, karena itu kota ini dijuluki The Windy City. Saat keluar apartemen hanya mataku saja yang nampak
nantinya. Kupastikan tak sejengkal pun hawa dingin kubiarkan menyentuh kulit
tropisku yang hangat.
Kubuka pintu apartemenku di
lantai empat, lantai paling puncak di bangunan ini. Angin dingin berhembus kencang,
menghempas pintu seketika. Hawa-hawa dingin telah terasa, meskipun di dalam
gedung. Kujejaki tangga-tangga kayu dari lantai empat hingga bawah. Apartemenku
bukan yang mewah, hanya lantai empat disini tak memerlukan lift. Risikonya
untuk membawa barang-barang berat ya harus siap-siap repot dan ngos-ngosan. Tibalah
aku di lantai dasar, kuintip suasana di luar sana sebelum kubuka pintu keluar,
sepi. Warung Italian Ice Cream and
Sandwich depan apartemen juga sudah tutup. Biasanya jam segini orang asik
makan malam di sana, sambil nonton football
dan berbincang-bincang, beberapa suka beli untuk takeaway. Pemiliknya adalah imigran asal Italia asli, sekarang
sudah generasi ketiga yang menjalankan bisnisnya. Tak aneh, tempatku tinggal
masih di daerah Little Italy, dimana
banyak keluarga imigran asal Italia yang tinggal disini. Maka itu, di sini
banyak toko-toko makanan berbau-bau masakan Italia. Sandwich dari Carm’s Beef and Italian Ice, begitulah nama
warungnya, cukup enak dan murah. Paling aku suka adalah menu eggplant sandwich, khas banget dan tidak
pernah kutemuin dimana-mana, harganya 5 dollar. Di seberang Carm’s ada warung Fontano’s Subs yang menjual kurang lebih menu yang sama tapi tidak
menjual Italian Ice Cream. Di Fontano’s Subs aku sering membeli
keripik kentang buatan lokal, enak, tanpa pengawet dan harganya tak mahal,
paling penting lagi ada logo Kosher. Kuperhatikan
sekeliling, mobil-mobil terparkir rapi di persimpangan jalan West Polk dan South Carpenter, semua tertutup salju. Hanya satu dua kulihat orang
lewat, sepertinya mahasiswa yang akan pergi ke kampus juga.
“Baiklah, aku siap ke kampus
malam ini.” Itulah mantra yang selalu kulafalkan setiap akan beranjak kuliah
disaat-saat seperti ini. Kuliah malam hari di musim salju, badai, dan mata
kuliahnya dipegang oleh dosen yang sangat demanding.
Mengelak dari kelas menjadi tanda-tanda musibah akhir semester. Kehilangan satu
pertemuan berarti mendekati 10% maksimal bolos kelas tanpa alasan urgent yang diperbolehkan. Apabila ada
30 kali pertemuan, maka maksimal bolos adalah tiga kali. Lebih dari itu
siap-siap tidak lulus mata kuliah, alias harus mengulang. Kalau tidak masuk
kelas juga berarti kehilangan materi, tugas, dan nilai diskusi yang diberikan
setiap perkuliahan. Diam saja membisu di pertemuan kelas berarti nilai 0 untuk
diskusi. Mahasiswa harus aktif berdiskusi, bertanya, menimpali, asal jangan
menggumam sendiri. Tak apa yang kita omongkan tidak berbobot, mahasiswa tidak
dituntut untuk berbicara di kelas macam pakar. Ungkapkan apa saja yang kita
tahu. Bisa jadi apa yang menurut kita sepele, bagi orang lain adalah sesuatu
yang baru. Terutama bagi orang-orang dari dunia ketiga macam kita, pengalaman-pengalaman
yang ada di negara kita layak menjadi bahan diskusi perkuliahan, terutama kalau
membicarakan mengenai hal-hal terkait sektor publik, senang sekali mereka
mendengarkan cerita-cerita yang selama ini hanya mereka tahu lewat teori dan sebenarnya
juga dialami di negara ini beberapa puluh dekade yang lalu.
Kubuka pintu apartemen, “krieeet,”
suaranya menggetarkan seantero gedung, tak ada yang merespon karena begitulah
adanya bunyi pintu ini. Kulangkahkan kaki kiri setelah diawali dengan doa
keluar rumah yang seolah telah menjadi keyword
otomatis di dalam otak, terpatri di sana sejak kecil. Aku lupa siapa dulu
yang mengajarkan doa itu hingga aku hafal benar, terima kasih guru. Langkah
kaki kujejakkan perlahan, meskipun dalam salju tebal seperti ini relatif aman
untuk berjalan cepat. Cobalah tunggu esok pagi, trotoar kan berubah menjadi
lantai ice skating. Sembrono
menjejakkan kaki bisa berakibat fatal. Tubuh bisa terpelanting ke lantai,
terbanting menghujam trotoar yang keras dan licin karena salju telah berubah
menjadi es batu yang melapisi paving blok. Kalau kurang beruntung bisa patah
tulang, pingsan, atau setidaknya memar-memar. Maka itu, disini saat musim salju
seperti ini banyak sekali lowongan untuk menjadi volunteer yang bertugas membantu membersihkan trotoar dari salju
yang turun, karena apabila tertiup angin dingin, salju langsung berubah menjadi
es dan sangat berbahaya khususnya untuk para lansia dan orang-orang rentan
lainnya.
Berjalan ku menyusuri jalan West Polk, menuju kampus. Apartemenku
dekat dengan kampus, hanya beberapa tiga blok saja. Bersyukur sekali bisa
mendapatkan apartemen ini, meskipun relatif mahal, tapi begitu keluar dari
pintu apartemen langsung nampak gedung-gedung kampus yang seolah
memanggil-manggilku untuk belajar. Berjalan kaki di waktu normal untukku ke
kampus hanya butuh 2-3 menit. Aku terbiasa berjalan cepat, tak suka
berlambat-lambat, terlebih lagi dimusim dingin seperti ini, ingin berlari dan
cepat sampai tujuan dan menghangatkan badan. Meskipun dekat, tapi ini sudah
malam. Pukul enam malam terasa seperti jam Sembilan malam kalau kita di
Indonesia, terlebih di musim dingin, suara burung gagak yang mengisi sunyi,
syahdu menjadi spooky. Keluar
apartemen dengan baju tebal macam ini menyusuri blok demi blok menuju kampus
bukanlah sesuatu yang nyaman.
Ada satu spot yang tidak aku suka. Aku akan melewati taman kecil di depan
sana. Blok ke tiga dari apartemenku, tepat di samping depan West Loop Church. Taman kecil berukuran
20 x 10 meter dengan pohon-pohon yang tinggi dan beberapa bench tempat orang duduk-duduk saat musim panas. Di musim dingin
tak biasanya orang duduk di situ, tapi itulah yang tak biasa dan tak kusuka.
Malam ini tergolong sangat sepi, mungkin karena baru saja badai, orang pun
malas beraktivitas. Mahasiswa yang biasanya berlalu lalang ke kampus untuk
belajar bersama atau pergi ke perpustakaan pun memilih rebahan di kamar,
berselimut tebal, minum teh hangat dan mengerjakan tugas sendiri. Pahitlah
nasib mahasiswa yang harus berhadapan dengan kuliah macam Prof. Thomp ini, tak
punya pilihan selain harus ngampus. Suasana sepi di taman itu tidak nyaman
dilihat, terutama ketika ketika malam hari. Meskipun kecil, namun saat Winter selalu sepi. Hanya ramai saat Summer terkadang ada orang duduk-duduk
membaca saat siang hari, biasanya mahasiswa karena lokasi taman berada tak jauh
dari perpustakaan, hanya cukup menyebrang jalan. Saat musim Winter, suasana berubah drastis,
terlebih di malam hari. Bangku-bangku taman kosong yang diterangi temaram lampu
kuning membuat bulu kuduk berdiri saat lewat sendiri di malam hari. Terkadang bunyi
lonceng jam gereja di depan taman mengagetkanku. Ia berbunyi setiap satu jam
sekali.
Pikiranku melayang kemana-mana,
baru tiga hari yang lalu aku membaca phone
notification dari kampus yang memberikan alert karena ada mahasiswa yang ditodong dengan senjata api saat
pulang kampus malam hari. Lokasinya di Roosevelt
Street, sebelah selatan East Campus.
Jalur itu memang bukan tempat yang nyaman untuk berjalan-jalan sendirian,
apalagi malam hari. Karena itulah, saat musim ujian, kampus menyediakan Night Ride, yakni berupa free shuttle untuk mengantar mahasiswa
yang belajar hingga larut malam di kampus sampai ke tujuan tertentu. Shuttle-nya mudah dikenali, yakni berupa
Red Van, mobil minibus warna merah. Night Ride ini bisa dimanfaatkan sejam
jam sebelas malam dan tinggal telepon saja untuk minta jemput. Notifikasi-notifikasi macam ini yang sering
menjadi pikiran dan was-was. Sebenarnya aku lebih suka ke kampus naik sepeda,
terutama malam hari. Dengan sepeda, bisa lebih mudah kabur kalau ada apa-apa. Dengan
kondisi jalanan bersalju seperti ini, mustahil ke kampus bersepeda. Meskipun ban
sepeda diganti dengan ban besar untuk salju, sampai di kampus mungkin sudah
bermandikan keringat. Berat, tidak ada yang akan kuat mengayuhnya.
Mendekati taman itu, mataku mulai
liar kesana-kemari memperhatikan situasi. Lampu-lampu taman menyala normal
semua, temaran khas musim dingin ini membuat suasana semakin mendebarkan. Dari
jauh kulihat ada bayangan, bergerak-gerak. Bukan bayangan pohon, karena ini tak
tinggi. Lagipula angin tidak sedang berhembus. Aku berhenti sejenak, kuamati.
Dalam kondisi seperti ini, tidak bertemu dengan siapapun di jalan itu jauh
lebih nyaman daripada bertemu orang tidak jelas di taman gelap dan dengan
suasana dingin seperti ini. Sepertinya ada seseorang duduk di sana, di deretan
bangku di sebelah kanan taman, di bawah lampu nomor dua dari arahku. Dia duduk,
kemudian berdiri, duduk lagi. Sepertinya sedang gelisah, sesekali ia nampak
seperti bersujud lalu berdiri di bangku trotoar taman. Tak terdengar suara
olehku, aku berdiri dengan jarak 20 meter. Posisiku pun tidak dalam jangkauan
pandangannya, atau ia memang tidak sedang fokus dengan sekitarnya. Ia
mengulang-ulang gerakannya, berkali-kali. Aku sudah berdiri terdiam hampir satu
menit, menanti sambil meyakinkan ia adalah orang waras dan tak berniat jahat. Jalan
di depanku adalah satu-satunya jalan ke kampus terdekat di posisi ini. Di
seberang taman ini adalah perpustakaan East
Campus, Richard Daley Library. Kalau
ada apa-apa maka tempat pelarian adalah perpustakaan atau menuju tiang emergency terdekat yang disiapkan di
kampus. Bisa saja aku memutar mencari jalan lain, tapi akan memakan waktu dan
kemungkinan terlambat masuk ke kelas. Tak ada pilihan, kulewati saja, siapa tau
aku saja yang terlalu berlebihan memikirkan. Kulangkahkan perlahan, aku
mengambil jalan sebelah kiri sehingga tidak langsung lewat di hadapannya.
Langkah kubuat begitu perlahan, kuhindari suara-suara dari sepatu boots ku. Gantungan kunci di ransel aku
pegangi satu demi satu, bunyi gemerincing bisa membuat orang ini terkejut dan
mengetahui keberadaanku.
Langkahku perlahan, sedikit
berbunyi karena salju yang tebal membuatku serasa berjalan di lumpur padat.
Tunggulah sampai salju-salju ini mulai meleleh, mulai banyak diinjak orang
lewat, warna putih bersihnya perlahan berubah menjadi coklat dan hitam, lembek,
cair, mengalir, nampak menjijikan jika menempel di sepatu kita. Apalagi kalau
sampai masuk ke kaus kaki. Makanya pakailah sepatu boots tinggi selalu saat musim salju. Aku semakin mendekati posisi
dimana pria itu duduk dan bersemedi atau entah apa namanya. Mau tak mau dia
pasti melihatku melewatinya, tak ada penghalang diantara kami. Aku tak mau
memalingkan mukaku dan menatap matanya, fokusku ada pada langkah yang mulai kupercepat,
berharap segera sampai di seberang jalan dan mencapai halaman belakang
perpustakaan. Kulihat perpustakaan juga tidak sedang ramai, nampak beberapa
orang saja asik membaca dan menghadap laptopnya.
“Young Man, help me!,” kudengar suara serak memanggilku. Aku yakin
memanggilku karena disini hanya kami berdua. Kualihkan wajahku ke arahnya, ia
memandangiku, mengacungkan tangannya padaku dengan gesture memanggil. Tangan kirinya memegang sesuatu yang tak kuyakin
apa. Kulihat samar-samar, tak jelas wajahnya, tapi sepertinya seorang pria
paruh baya berkulit hitam. Tak perlu dua kali berhitung, aku langsung berlari. Berlari
kencang sekali dan tak pernah kutengok belakang lagi hingga aku mencapai gedung
Taft Hall, tempat dimana kelasku akan
berlangsung. Aku masih terengah-engah saat Prof. Thomp masuk kelas. Kuseruput pelan-pelan
kopi yang kubuat tadi untuk menenangkan diri, ternyata masih panas sekali, lidahku
melepuh.
Posisi dudukku biasa di meja
pertama di depan dosen. Posisi paling enak untuk mengajukan pertanyaan karena
aku bisa berbicara leluasa perlahan kepada dosen. Temen-temen Americans yang jago-jago diskusi
biasanya asik memilih duduk di belakang, aku ingat sekali wajah-wajah yang suka
duduk di bangku ujung, sambil mengunyah makanan biasanya. Saat diskusi,
mereka-mereka ini jagoannya, walaupun belum tentu nanti mereka yang dapat nilai
tertinggi di kelas. Tidak banyak satu kelas ini, kami hanya berduapuluh tiga.
Maksimal mahasiswa dalam satu kelas hanya 30 orang, itu pun tak pernah terjadi.
Paling banyak satu kelas yang kuikuti hanya 27 orang, kelas sudah nampak crowded. Kelas terkecil yang pernah
kuikuti berisi lima orang, dengan dosen senior. Langsung aku batalkan mengikuti
kelas itu dan kuambil lain kali dengan kelas yang lebih besar. Hanya lima
orang, perkuliahan seperti diskusi karena tempat duduk dibuat berhadapan. Bisa
mati kutu aku karena pastinya ga bisa ngantuk-ngantuk dan melamun di dalam
kelas sekecil itu.
Dua jam pertama aku tidak bisa
fokus mengikuti perkuliahan, aku masih memikirkan panggilan dari pria separuh
baya tadi “…help me!,” katanya dengan
suara lemah dan parau. Masih terngiang benar di telingaku. Mengapa aku berlari
tadi, jangan-jangan ia benar-benar membutuhkan bantuan orang lain saat itu. Ada
sebuah perasaan bersalah saat ini yang justru menghantuiku, bukan lagi
ketakutan. “Apakah aku akan pulang melewati jalur yang sama dan menemui pria
itu?” aku masih ragu. Kelas akan berakhir lima belas menit lagi. Dengan
pertimbangan matang aku akan melihat kondisi di sana. Jikalau ada orang lain
yang lewat, aku pun. Jika sepi dan masih ada pria itu maka aku akan beralih.
Jika sepi dan tidak ada orang itu, aku akan lewat.
Aku memutuskan akan kembali
melalui taman kecil itu. Selain jalur tercepat, rasa penasaran menuntunku untuk
melihat kembali apa yang sebenarnya terjadi di sana. Selesai Prof. Thomp
menutup kelas, aku bergegas keluar. Teman-teman kelasku tidak ada yang satu
jalur pulang jalan kaki. Mayoritas dari mereka memarkirkan mobil di parkiran
belakang atau pulang dengan L-Train, sebutan
untuk Subway di Chicago. Ada juga
yang pulang pergi dengan CTA Bus. Aku
menyusuri jalan kecil di samping perpustakaan, di depanku adalah Morgan Street, dan di seberangnya lagi adalah
taman kecil di ujung jalan West Polk.
Dari jauh sudah kulihat tak ada lagi nampak bayang-bayang pria paruh baya itu
dibawah remang lampu taman. Sekeliling pun nampak sunyi. Saat ini sudah pukul
09.17 pm, kutengok jam di pergelangan tanganku. Karena Winter, suasananya sudah seperti pukul satu pagi, bahkan lebih sepi
dan menegangkan. Biasanya tengah malam pun masih ada kendaraan lewat, ini
tidak. Aku lebih tenang melewatinya. Biarlah rasa penasaranku atas pria paruh
baya itu tak terpenuhi, yang penting aku bisa pulang dengan santai malam ini. Kulangkahkan
kaki dengan mantap, agak lebih cepat meskipun berat karena salju menggelayuti
sepatu boots-ku. Meski orang itu tak
lagi disini, tetap saja aku tak mau berlama-lama di jalanan lengang begini,
mana sepertinya salju mulai kembali turun, angin dingin membawa butiran-butiran
es dari Michigan Lake mulai
berhembus. Dinginnya menampar pipi, menggigit sekali hingga ke tulang sumsum. Kaos
kaki wool dan sepatu boots tak mempan. Kaki-kaki mulai
dingin. Jari-jemari pun mulai terasa ngilu. Susah untuk bernafas, sepertinya
asmaku kambuh lagi. Telingaku yang dingin sedari tadi telah aku tutup dengan
kupluk dan kusumpal dengan earphone
agar membuatnya hangat, sambil mendengarkan lagu tentunya. Berjalan dengan
menyalakan lagu dan menempelkan earphone atau
headphone sebenarnya tidak disarankan
oleh pihak keamanan kampus. Musik membuat perhatian kita terhadap sekeliling berkurang. Sudah banyak kejadian mahasiswa
yang dirampok ternyata mengenakan earphone
dan menyetel lagu saat berjalan kaki. But,
who cares? Seringkali kita keasikan mendengarkan musik untuk mengusir
kebosanan, aku termasuk salah satunya.
Langkahku tetiba kuperlambat
karena ternyata kulihat seonggok tas hitam dan barang-barang di atas salah satu
bangku taman. Dari jauh tadi tidak nampak karena lampu di samping bangku ini
mati. Agak aneh, perasaan saat aku berangkat tadi, semua masih nyala. Semak-semak
disamping bangku bergerak-gerak, apakah tertiup angin? Aku tepat berada di
sampingnya, tak nampak jelas ada apa dibaliknya. Takut ada sesuatu yang tak
diinginkan aku memilih berlari. “Wait, Young Man!,”
kudengar suara keras, sebuah tangan memegang dan menarik tas ranselku, tepat
disaat aku akan berlari. Kupalingkan wajah ke belakangku, dan ……………………………………………………………………………………..(bersambung).
Leave a Comment