Kisah Si Moci (Bagian 3)


Meskipun kini sudah tinggal bersama teman-teman yang sudah menjadi keluarga baru dan tinggal di hutan yang tenang dan damai, Moci masih saja merasa kesepian, dia sangat khawatir memikirkan bagaimana nasib kedua orang tuanya yang ditangkap para pemburu burung kala itu. Kejadian penangkapan oleh pemburu memberikan trauma yang luar biasa untuk Moci, dia menjadi ketakutan setiap bertemu dengan manusia, dimatanya manusia adalah makhluk jahat, dan tidak berperi-kebinatangan, lebih jahat dari rubah pemangsa, dan ular yang paling licik sekalipun.

“Apakah mereka masih hidup?kalo iya,dimana aku bisa menemukannya?Apakah mereka dalam kondisi sehat?”, pertanyaan itu selalu menghantui Moci, seringkali dia menangis sendiri,tak henti-hentinya ia berdoa kepada Tuhan agar orang tuanya selalu dalam keadaan baik.

Dia pernah mendengar bahwa burung atau binatang lain yang tertangkap oleh pemburu nasibnya mengkhawatirkan,berada dalam kandang kayu yang sempit, bau, kotor,dan berdesak-desakan karena satu kandang diisi dengan belasan bahkan puluhan burung, berhari-hari tidak mendapatkan makanan, kalaupun ada hanya makanan sisa manusia yang sudah basi. Kalau apes bisa-bisa menjadi santapan kucing sang pemburu yang juga kelaparan karena nasib mereka sebagai pembantu pemburu juga tidak lebih baik dan mendapat kehidupan yang lebih layak, sehingga burung-burung tangkapan terlihat sebagai hidangan yang lezat. Kemungkinan terakhir tentu saja dijual dan mendapat majikan baru.

Bagi yang beruntung akan mendapatkan majikan yang baik, mampu memelihara dengan baik, dan menyediakan setiap kebutuhan kita, namun tetap saja berada dalam sangkar tidak lebih menarik dari kehidupan hutan yang bebas. Lain nasib dengan mereka yang mendapat nasib kurang baik, mendapatkan majikan yang tidak peduli dengan peliharaannya, tidak menghargai kehidupan binatang seperti kehidupan mereka manusia, memperlakukannya seperti budak, disuruh bernyanyi dan berkicau sepanjang hari tanpa mendapatkan makanan yang layak, dijemur diterik matahari ketika siang hari, dan dibiarkan kedinginan pada malamnya, kandang tidak pernah dibersihkan dan berantakan, bisa-bisa mati kelaparan dan penyakitan.

Moci menangis sepanjang malam membayangkannya,setiap hari baginya adalah kegelisahan, makan cacingpun menjadi tak enak, ulat goreng pun dia tak berselera menyantapnya. Moci tak bisa tidur, hingga akhirnya ia kelelahan dan terlelap tanpa ia sadari.

Pagi-pagi shubuh selesai berdoa Moci merenung, meminta petunjuk dari Tuhan. Hingga kemudian ia memiliki tekad kuat “Aku akan mencari kedua orang tuaku, di belahan  bumi manapun mereka berada! Aku tak akan kembali hingga aku benar-benar menemukan mereka dalam kondisi apapun!”, Moci mengepalkan sayapnya dengan semangat membara di dadanya. Dia mengutarakan keinginannya itu kepada dua sahabatnya, Adisti dan Mikel.

“Aku tau kejadian ini berat, tapi yang benar saja, bagaimana bisa kau menemukan mereka? Bumi ini terlalu luas untuk kau jelajahi dan mencari setiap sangkar satu per satu Moci?”, Mikel ragu dengan keinginan Moci.

“Moci, aku tidak bisa berkata apa-apa, namun hal ini terlalu beresiko untukmu,nanti bisa saja kau ditangkap juga oleh manusia, atau engkau kelelahan di jalan, tersesat, dan tak bisa pulang…binatang-binatang buas di luar sana juga mengerikan, siapa yang akan menjagamu di luar sana?”, Adisti nampak sangat khawatir dengan sahabatnya itu.

Moci sejenak terdiam, dia tahu sahabat-sahabatnya itu sangat sayang dan peduli dengan kondisinya, namun perasaan cinta dan bakti kepada orang tuanya melebihi segala-galanya, bahkan ia akan rela menyerahkan nyawanya sebagai ganti bagi kebebasan kedua orang tuanya dari tangan pemburu.

“Tekadku sudah sangat bulat sahabatku, aku merasa tak pantas hidup bahagia disini sementara kedua orang tuaku menderita di luar sana, biarlah pencarian ini akan menjadi caraku berbakti kepada mereka, meskipun aku tak tahu bagaimana hasilnya, yang penting bagiku adalah berusaha, segala hasil adalah takdir milik Tuhan yang menciptakan”, Moci tampak berapi-api, perlahan air matanya menetes perlahan disudut matanya.

“Aku berpamitan teman-teman, jangan tunggu kembaliku disini, karena ku pun tidak pernah tahu apakah aku bisa kembali dengan selamat nanti..aku membutuhkan doa dari kalian semua”, mata Moci masih berkaca-kaca.

“Mociii….hiks..”, Adisti menangis kecil, Mikel hanya bisa menahan air mata, sebagai pria ia terlalu gengsi untuk menangis. Mereka berpelukan sebagai tanda perpisahan.

“Swing.…” Moci mengepakkan sayapnya melesat ke udara. Kedua sahabatnya menatap hingga Moci menghilang dari pandangan, “Kami akan menunggumu kembali bersama kedua orang tuamu Moci…”, tampak Moci menuju ke Utara, ke sebuah Kota kecil tepi desa tempat tinggal para manusia.

Ini akan menjadi sebuah perjalanan panjang yang berat bagi Moci.

Moci tak tahu kemana ia harus memulai pencariannya. Ia hanya terbang kemana angin berhembus, kemana insting membawanya menuju, dia tak tahu arah, ia bimbang. Ia terus menuju utara hutan, masih ber-mil jauhnya untuk mencapai kota terdekat dari tempatnya berpijak. Dibutuhkan berhari, berminggu untuk bisa mencapainya dalam cuaca yang baik.

Dua hari perjalanan dilalui.

Moci tampak kelelahan, ia butuh beristirahat. Ah dia melihat sekumpulan burung layang-layang sedang bersantai dan berkumpul bersama, kesempatan bagi Moci untuk bisa bergabung bersama dan tentu saja sebagai tempat bertanya. Moci menurunkan kecepatan terbangnya, melesat turun. “Hap..” ia hinggap disamping mereka.

“Hai anak muda..engkau siapa,dari mana asalmu, dan mau kemana?” Seorang yang tampak sebagai pemimpin rombongan burung layang-layang itu menyapanya dengan ramah. Dia adalah Sang Tetua, pemimpin kelompok burung layang-layang.



“Saya Moci tuan…dari hutan Sumatera, saya hendak mencari kedua orang tua saya yang terpisah karena ditangkap manusia..” Moci kemudian menceritakan kejadian yang dulu menimpanya dan apa yang sekarang menjadi misinya.

Burung layang-layang itu kemudian mendengarkan dengan seksama cerita Moci tentang keluarganya yang terpisah. Mereka sangat perhatian dan memberikan simpati yang dalam, karena sebagai sesama burung merekapun memiliki perasaan yang sama apabila mendapat musibah yang mengerikan itu.

“Kami sangat memahami perasaanmu nak, engkau terlihat sangat letih, istirahatlah dahulu disini bersama kami, makanlah seadanya..” Sang ketua memberikan Moci makanan bekal mereka. Moci tampak sangat lahap, dia kelaparan luar biasa, kasihan. Moci tinggal bersama rombongan ini selama sehari.

Rombongan burung layang-layang itu sedang bermigrasi ke selatan, menuju Australia karena disana sekarang sedang musim semi. Karena disanalah pada musim semi sangat baik untuk mereka berkembang biak dan melahirkan tunas-tunas baru melestarikan jenisnya.

“Nak, maaf kami tidak bisa membantumu mencari kedua orang tua yang sangat kau cintai, esok pagi kami harus melanjutkan perjalanan ke selatan, namun kami hanya bisa memberimu informasi bahwa kemaren dua hari yang lalu kami menjumpai serombongan manusia, yang nampak seperti pemburu dengan senapan di pundaknya dan menenteng beberapa sangkar yang isinya sepertinya adalah binatang-binatang. Mereka berjalan menuju Kota Utara, kejarlah mereka, mungkin belum terlampau jauh”, Sang Tetua memberikan informasi yang sangat berharga bagi Moci.

“Terimakaih banyak Tetua”, Moci terharu telah bertemu dengan burung-burung yang baik hati dan bersimpati dengannya, matanya kembali berkaca-kaca.

Berhati-hatilah engkau dengan perjalananmu, ini ada sedikit bekal untukmu”, diberikan beberapa bekal makanan untuk bertahan hidup Moci selama perjalanan.

Moci menangis terharu, lalu ia dipeluk oleh Ibu Burung yang sedari tadi mengamatinya. “Aku sangat memahami keadaanmu nak..bersabar dan berdoalah, nanti Tuhan akan memberikanmu jalan dan kemudahan..” Ibu Burung memberikan nasehat yang mengharukan.

“Baiklah, kami serombongan akan melanjutkan penerbangan, berhati-hatilah engkau anak muda, teruslah berusaha, tetap bersemangat, semoga berhasil!!” Sang Tetua berpamitan kepada Moci, begitu juga para rombongan “Semoga Berhasil!!” mereka berteriak bersama-sama menyemangati Moci. Api semangat dalam dada Moci terbakar, seiring dengan tangis haru bahagia dengan keluarga barunya diperjalanan itu. Mereka melesat..“Swiinng…”

Moci masih terdiam mengamati mereka hingga terbang membumbung tinggi menuju awan dan tak terlihat lagi.

Ia berdoa sejenak, lalu mengepakkan sayapnya…“Swiinngg…” ia pun terbang…

Bagaimana kisah Moci berikutnya? Nantikan ceirta berikutnya ya teman-teman… :)

      Salaam,

      frochadi

(Bengkulu;26/10/2010;09.41WIB)

No comments

Powered by Blogger.