Kisah Si Moci (Bagian 4)

 Moci membumbung ke langit biru, terbang dengan kecepatan rata-rata burung emprit, sesekali ia bermanuver menghilangkan kebosanan, naik mendekati awan kemudian meluncur kencang hampir menghujam bumi, ia meniru manuver-manuver burung besi yang sering ia lihat di udara. Moci tidak tahu jenis burung apa macam itu. Burung besi itu bisa dinaiki manusia, sangat besar bentuknya, lebih besar dari mitos Burung Garuda yang sering ia dengar dari cerita ayahnya. Burung itu biasa terbang sendiri atau bersama-sama, kencangnya luar biasa, mampu menembus awan, bahkan dari ekornya mampu mengeluarkan api dan asap, sayapnya selalu mengembang, ia juga tidak hinggap di pohon.

Moci memiliki kemampuan terbang yang luar biasa, ia sudah terbang seharian non stop, di satu malam ia beristirahat di pepohonan hutan yang dilewati. Ini adalah hutan Kapukrandu, dinamakan Kapukrandu karena di hutan ini banyak ditumbuhi tanaman randu yang menghasilkan kapuk, kapuk itu sendiri biasa digunakan oleh manusia untuk bahan pengisi kasur dan bantal sebagai alas mereka tidur, mungkin hutan ini adalah hutan buatan manusia, bukan hutan alami seperti yang biasa kami diami disana.

Moci hinggap di salah satu pohon randu tertinggi diantara yang lain, tak lupa ia makan bekal yang didapatkannya dari rombongan burung layang-layang, masih cukup untuk bertahan hidup hingga sehari ke depan. Setelah kenyang kemudian ia merasa sangat mengantuk, mungkin karena ia juga kelelahan terbang dengan cuaca yang cukup panas sehingga sangat menguras tenaga. Moci segera bersiap-siap untuk tidur, ia berjingkat-jingkat memilih dahan yang rimbun dan sekiranya paling nyaman, serta terlindung seandainya datang hujan.

Hutan ini terasa sangat sepi, sejauh ini Moci tidak melihat ada burung satu pun yang juga beristirahat disini, terasa sunyi dan sedikit aneh, cukup menyeramkan bagi Moci. Langit yang sedari pagi terang benderang dan mentari bersinar terik secara tiba-tiba berubah tertutup awan mendung yang gelap gulita, akhir-akhir ini perubahan cuaca menjadi semakin ekstrim dan cepat, ini terjadi karena pemanasan global yang membuat iklim dan cuaca berubah tanpa bisa diramalkan, salah satu penyebab terjadinya pemanasan global adalah karena penebangan secara sembarangan hutan-hutan tempat tinggal Moci dan binatang-binatang lainnya, hutan ditebang untuk diambil kayunya namun tidak direboisasi dengan baik. Malam menjadi semakin gelap karena mendung di langit menutup sinar rembulan malam. Geluduk mulai bergemuruh di langit, lidah kilat menyambar-nyambar, gerimis mulai turun membasahi tanah, suasana terasa makin mencekam. Moci meringkuk mencoba berlindung di balik dedaunan, dia tampak kedinginan.

Sepasang mata dengan tatapan tajam nampak mengawasi sosok mungil Moci dari bawah pohon, mata itu tidak berkedip, terlihat kejam. Moci tidak sadar bahwa keberadaannya sedang diawasi. Perlahan namun pasti mata itu mulai menaiki pohon, meliuk-liuk mendaki pohon randu yang licin karena air hujan, dia mengeluarkan suara “..ssshhhh…”, rupanya seekor ular, badannnya besar, sebesar pelepah daun pisang, badannya berhiaskan motif batik yang indah, lidahnya yang bercabang menjulur-julur sembari mengeluarkan desisan terus-menerus, pertanda bahwa ia sedang lapar. Dia adalah seekor ular Phyton.



“Beruntung sekali tepat dalam kondisi lapar seperti ini aku menemukan mangsa”, sang Phyton bergumam lirih. Hujan yang semakin deras membuat tidur Moci semakin lelap, ia begitu menikmati tidurnya, dan tanpa ia sadari bahaya sedang mengintai jiwanya. Sudah menjadi hukum rimba mereka yang lemah ditindas oleh yang kuat, hal ini juga adalah takdir rantai makanan, proses makan dimakan antar organisme kehidupan. Burung adalah salah satu makanan bagi ular selain tikus.

Ular yang kelaparan semakin mendekat dengan Moci, batang pohon yang licin itu mampu dipanjatnya dengan mudah dengan melilitkan badannya serta bergerak naik perlahan menuju dahan dimana Moci hinggap. Jarak antara sang ular dengan Moci kini tinggal sekitar tiga meter, sedikit lagi dan si ular akan mendapatkan jarak yang pas untuk mematuk, melilit badan Moci hingga tulangnya remuk, serta kemudian menelannya ke dalam perut.

“Dhuuaarrr…gluduk..gluduk…”, tiba-tiba petir menyambar dengan suara yang sangat kencang dan membakar pohon disamping Moci. Mendengar suara berisik itu Moci terkaget lalu terbangun. Kekagetan Moci bertambah karena dihadapannya tiba-tiba sudah muncul ular besar yang sudah siap berancang-ancang untuk mematuknya, lehernya naik, wajahnya sangat mengerikan, matanya melotot, mulutnya menganga dengan lidah menjulur-julur serta desisan yang membuat bulu kuduk merinding. Moci tampak sangat ketakutan, tubuhnya gemetar, paruhya gemeretak, keluar keringat dingin di pelipisnya.

“Uh..siapa, kamu?..”, Moci mencoba bertanya baik-baik pada sang predator.

“Kamu tak perlu tahu siapa aku, yang jelas aku sangat lapar malam ini..”, jawaban sang ular dengan senyum menyeringai menampakkan taring-taringnya.

Sang ular perlahan semakin mendekat, Moci beringsut perlahan memundurkan badannya, menuju ujung ranting, menjaga jarak aman, takut seandainya tiba-tiba si ular mematuk.

“Tolong tuan, jangan makan saya, saya sedang mencari kedua orang tua saya”, Moci memohon sembari memelas.

“Siapa peduli, aku lapar, sudah sulit sekali mencari mangsa setelah hutan ini diubah menjadi hutan kapuk,aku tak akan menyia-nyia kan kesempatan ini, kalau aku tidak memangsamu aku akan kelaparan dan mati, terima saja takdirmu Nak..”, ular tampak tidak sabar untuk menikmati makan malamnya ini.

Moci kebingungan, dia tak tahu harus berbuat apa, melawan sang ular jelas tidak mungkin, dia bukan burung elang atau rajawali yang memiliki paruh dan cakar yang kuat, badannya terlampau kecil dan rapuh, mencoba kabur pun sepertinya sia-sia, kecepatannya terbang kalah dengan kelebatan sang ular mematuk yang hanya membutuhkan 1/6 detik saja untuk mencapai jaraknya. Moci kalut, ia teringat kedua orang tuanya, bagaimana nasib mereka apabila ia pun akhirnya gagal dan menjadi santapan malam ular Phyton “siapa yang akan menyelamatkan mereka?”, tak terasa air matanya menetes. Namun sang ular nampaknya sudah terlanjur gelap mata, rasa lapar  perutnya mengalahkan segalanya, tidak ada toleransi peri-kebinatangan dalam urusan perut yang lapar, air liurnya menetes, membayangkan lezatnya daging burung muda yang empuk dimakan pada malam hujan dingin seperti saat ini. Dunia ini terlampau kejam untuk binatang kecil dan lemah seperti Moci.

Begitu takutnya, hingga tubuh kecil Moci gemetar sampai kaku, kakinya kesemutan dan tak bisa melangkah, sayapnya terasa berat untuk segera mengelebat dan menghindar, dia tak bisa berbuat apa-apa. Satu-satunya hal yang bisa ia lakukan adalah berdoa, dia memejamkan kedua matanya, berdoa kepada Tuhan, memasrahkan diri dan segalanya kepada-Nya.

“Ya Tuhan, berilah hamba pertolongan dari segala marabahaya ini, namun apabila kematian sudah menjadi takdi-Mu, mohon lindungi kedua orang tua hamba disana..”, sembari menangis Moci berdoa dengan khusyuk.

Melihat Moci sudah tak berdaya sang ular lalu menjulurkan kepalanya, “ Swiingg…”, dengan kecepatan kilat ia berusaha menyambar tubuh Moci yang hanya berjarak setengah dari tubuhnya, “..ssshhhh…”, desahannya terdengar begitu mematikan, mulutnya terbuka lebar dan taring-taringnya menganga siap menancap. Moci pasrah.

(Bersambung)

Bagaimana nasib Moci selanjutnya? Kita ikuti kisah berikutnya ya kawan-kawan. Stay tune. :)

*************************************************************************

                                                                     Bengkulu;29/10/2010;16.39 WIB

1 comment:

  1. That stated, such an oversaturated market is certain to be filled with both hits and duds. The finest stay roulette UK stays one of our most sought-after picks, and we don’t intend to cease giving our ideas. With LiveCasinos, the most casinosite.fun effective stay on line casino UK is always right at your fingertips. Games are broadcast from fashionable studios with tables, handsome interiors, and actual equipment.

    ReplyDelete

Powered by Blogger.