Kisah Si Moci (Bagian 6)

 Helooo teman-teman, maaf ya baru sempat posting lagi Kisah Si Moci Bagian 6, setelah sekian waktu, sebenarnya cerita ini sudah dibuat lama tapi gambar ilustrasi baru sempat disketsa aja, belum sempat gambar di krayon, semoga tetep enak dibaca ya..selamat membaca ;)

—————————————————————————–

Sementara itu,

“ San, kita berhenti sebentar, kakikku sudah capek sekali ini, kita sudah berjalan lebih dari lima kilometer,” Husin mengeluh, dia tampak kecapekan, peluh bercucuran dari keningnya, nafasnya terengah-engah, perutnya yang tambun naik turun mengikuti irama jalanan yang berbatu . Sedangkan Hasan yang memikul di depan Nampak masih sangat segar bugar.

“Sebentar lagi, setengah kilometer lagi kita sudah sampai ke Kampung Malabero, tahan dulu, nanti kita beristirahat dan makan siang yang enak-enak, lalu kita ke pasar menjual burung-burung ini.” Sambil terus berjalan Hasan mencoba menyemangati adiknya itu. Dia membalik topinya.

Gapura tinggi menjulang Nampak gagah di depan sana, dihiasi lampu-lampu meskipun sering tidak menyala karena aliran listrik masih sangat susah. Akhirnya, sampailah mereka di Kampung Malabero. Meskipun tidak terlalu besar, kampung ini cukup ramai karena disini terdapat pasar yang menjadi tempat jual beli warga-warga baik yang berasal dari kampung sini maupun mereka yang berasal dari kampung-kampung sekitarnya.

Hasan memandangi sekitar, orang-orang ramai lalu lalang, beberapa terlihat memandangi keduanya, mungkin mereka juga sudah tidak asing lagi dengan penampilan macam kedua pemburu tersebut. Tanpa berlama-lama dan pikir panjang, Hasan dan Husin langsung bergegas menuju pasar, dengan cekatan mereka melalui gang-gang sempit diantara rumah-rumah. Hal ini ditempuh agar upaya mereka menjual satwa-satwa hutan tidak diketahui oleh aparat yang biasanya berpatroli untuk mencari para pemburu dan penjual satwa liar dari hutan. Hasan dan Husin nampak sudah sangat hafal dengan liku-liku gang dan jalan disini, ya, tentu saja, sudah sekian lama mereka menjadi pemburu dan selalu menjual satwa hasil buruan mereka di pasar Kampung Malabero ini. Entah sudah berapa banyak satwa yang menjadi korbannya. Tidak hanya hidup-hidup, mereka juga menjual satwa yang mati dan sengaja dibunuh untuk kemudian dijadikan penghias ruang tamu, seperti luwak, blacan, biawak, burung besar, bahkan kucing hutan yang dilindungi pun pernah. Pembelinya adalah orang-orang kaya dari kampung maupun dari kota yang suka mengoleksinya. Harga satwa-satwa disini jauh lebih murah daripada di toko binatang peliharaan, serta disini terkadang bisa ditemukan satwa yang dilindungi, dijual dengan diam-diam tentunya.

Sesampainya di pasar Hasan dan Husin segera menghampiri Cak Brewok, dia adalah salah satu penjual satwa di pasar ini. Pak Brewok berwajah menyeramkan, tinggi besar, wajahnya dipenuhi dengan kumis dan brewok, maka itu ia dijuluki Cak Brewok oleh orang-orang. Dia juga sadis dan tidak berkeperi-binatangan dengan satwa-satwa yang jadi dagangannya. Cak Crewok memiliki satu kios yang paling besar disini, isinya berbagai macam satwa, kebanyakan adalah burung. Burung-burung kecil yang dijual tersebut ditempatkan dalam kandang yang terbuat dari rangkaian kawat, hanya seukuran kardus sepatu, sangat sempit. Mereka diletakkan di halaman kios, digantung di atas, setiap hari kepanasan, kalau malam kedinginan, tidak diberi makanan dan minuman yang cukup, tidak ada belas kasihan. Seringkali burung dan satwa tersebut menderita sakit, dan apabila ada burung yang pada akhirnya mati maka akan diawetkan dengan air keras apabila burung itu berbulu cantik warna-warni, namun apabila burung itu biasa-biasa saja maka bangkainya hanya menjadi santapan ikan lele di kolam belakang pekarangan  rumah Cak Brewok. Begitu pula dengan binatang-binatang lainnya.

Sebenarnya Cak Brewok sudah sering diamati dan dirazia oleh petugas, namun selalu gagal karena ia terlebih dahulu tahu bocoran info apabila akan dilakukan razia, dan ia akan menutup kiosnya ketika diadakan razia. Suatu saat ada razia datang ke kiosnya, beruntunglah ia sudah memindahkan satwa-satwa jualannya yang tergolong binatang yang dilindungi ke tempat yang aman, yang terpajang di kiosnya tinggal satwa-satwa yang biasa di perdagangkan. Ia sangat cerdik. Pelanggan Cak Brewok berasal dari kota, mereka adalah pemilik toko binatang peliharaan atau petshop dan pengkoleksi binatang langka.

Cak Brewok mendapatkan satwa-satwa dagangannya tidak dengan menangkapnya sendiri, namun ia biasa membelinya dari para pemburu-pemburu satwa di hutan. Si kembar Hasan dan Husin adalah contohnya. Satwa-satwa itu dibeli dengan murah dari para pemburu untuk kemudian dijual kembali dengan harga yang jauh lebih mahal.

Hari ini Hasan dan Husin datang kembali ke kios Cak Brewok. “Gimana dapat apa kalian kali ini?,” sapa Pak Brewok dengan suaranya yang berat dan serak, alis mata sebelah kanannya naik, sambil memain-mainkan matanya mencoba menerka-nerka isi sangkar burung yang dibawa oleh Hasan dan Husin. Ia sudah tahu bahwa mereka membawa burung, seperti biasanya. Kedua pemburu itu hanya tersenyum-senyum saja tanda meng-iyakan.

“Kali ini tidak banyak Cak yang kami bawa, musim hujan, jadi agak susah nyari tangkapan, sebisanya aja.” Hasan meletakkan sangkar-sangkar yang dibawanya ke hadapan Cak Brewok, lalu membuka tutupnya perlahan. Di dalam sangkar yang pertama terdapat tujuh ekor burung, masing-masing adalah dua ekor burung Beo, dua ekor burung Cucakrawa, dan tiga ekor burung murai. Kelima ekor burung itu nampak kelelahan, loyo, dan kuyu karena harus berdesak-desakan dalam sangkar serta minimnya oksigen, mereka juga kurang makan. “Husin, coba buka sangkar yang kau bawa itu,” Hasan memerintahkan adiknya yang sedaritadi duduk-duduk karena kelelahan untuk membuka sangkar satu lagi. Kemudian dibukalah sangkar yang satu, didalamnya terdapat enam ekor burung, yakni empat ekor burung emprit dan dua ekor kenari, yakni ayah dan ibu Moci. Kondisi mereka tidak jauh berbeda dengan yang di kandang satunya. Bahkan salah satu burung emprit sudah menderita sakit. Teman-temannya sedih.

“Ah baguslah kau banyak membawa burung kicau, tapi apa-apaan ini burung emprit kau bawa juga, kurang laku mereka,” Cak Brewok melihat-lihat hasil tangkapan sambil bergumam-gumam. Wajahnya yang seram membuat burung-burung kecil itu ketakutan.

“Ayah, aku takut.” Ibu Moci ketakutan, ia memepetkan badannya pada Ayah Moci.

“Tenang, aku akan selalu melindungimu, semoga Tuhan melindungi kita semua.” Ayah Moci mencoba menenangkan Ibu Moci, dan burung-burung lainnya.

“Burung-burung ini cantik juga, semoga suaranya bagus, pasti akan laku mahal,”Cak Brewok bergumam dalam hatinya, sambil diangkatnya sangkar burung yang pertama. Burung-burung didalamnya berlompatan dan bercericit ketakutan.

“Hahahaa..,” tiba-tiba Cak Brewok tertawa.

 “Hehehehe..,” kedua pemburu bersaudara itupun ikut tertawa.

Sinyal bagus buat mereka sepertinya. Suara tawanya menggelegar, memenuhi kios berukuran 3 x 3 meter itu. Burung-burung itu semakin ketakutan. Satwa-satwa lain dalam kios itu hanya bisa memandangi iba, mereka sangat bersedih melihat rekan-rekan mereka semakin hari semakin banyak yang menjadi korban penangkapan oleh manusia-manusia yang tidak bertanggungjawab.

                “Baiklah, berapa kalian jual?,”

                “Tiga ratus ribu untuk semuanya Cak,” Hasan membuka penawaran

                “Kemahalan, seratus lima puluh ribu ya?,” Cak Brewok mencoba menawar

                “Janganlah, dua ratus lima puluh ribu lah Cak, kami belum makan.” Husin ikut menimpali

                “Baiklah, dua ratus ribu ya. Kalian makan di rumahku saja.”

Cak brewok mengeluarkan dompetnya, diambilnya dua lembar uang merah ratusan ribu. Hasan dan Husin nampak bergembira, mata mereka langsung hijau begitu melihat uang, mereka tidak sadar kalau mereka ditipu oleh Cak Brewok karena harganya murah sekali. Setelah itu mereka bertiga bergegas ke belakang kios, di rumah Cak Brewok untuk makan siang. Husin langsung kalap begitu melihat makanan tersaji di meja.

…………..

Di dalam kios Cak Brewok

                Satwa-satwa yang lain di dalam kios mulai gaduh, mereka sangat gundah karena kini bertambah lagi rekan-rekan mereka yang bernasib sial sama dengan mereka, mereka khawatir jikalau semakin dibiarkan maka generasi mereka akan punah karena terus menerus ditangkapi oleh para pemburu dan dijual ke pedagang satwa untuk di pelihara atau diawetkan. Ada yang menangis, ada yang marah namun tidak bisa berbuat apa-apa, ada yang diam saja karena sudah stress.

                Disana terdapat beberapa binatang, sebagian besar adalah burung, ada juga musang, monyet, kuskus, landak, bahkan dua hari kemarin ada seekor anak harimau Sumatera bernama Willy, namun sudah laku dibeli oleh kolektor dari kota, dengan harga yang sangat mahal, entah bagaimana nasibnya sekarang. Ada seekor burung elang yang juga ikut tertangkap dan menjadi barang dagangan disini, namanya adalah Elbo, ia sudah tiga hari disini. Ia lah yang paling sering berontak dan ingin segera terbebas, ia sering meronta dan mencoba merusak sangkarnya, namun rupanya sangkar itu terlalu kokoh untuk kuku dan cakarnya yang tajam. Cak Brewok akan memukulnya apabila Elbo meronta, bahkan kaki kanannya kini diikat dengan rantai. “Bersabarlah kalian, nanti setelah membebaskan diri, aku akan menolong kalian semua untuk kabur dari tempat terkutuk ini,” ia berjanji pada teman-teman barunya, sembari menguatkan hati mereka agar tidak bersedih.

                Ibu Moci masih shock, ia terus saja diam dan sesekali menangis, memikirkan anak satu-satunya yang kini tinggal sendirian di hutan. “Bagaimana nasibmu disana nak,” gumamnya. Ayah Moci juga Nampak semakin stress, ia tidak mampu berbuat banyak, manusia terlampau kuat untuk dilawan. “Ya Tuhan berilah kami semua keselamatan dari makhluk-Mu yang bernama manusia, atas segala perbuatan kerusakannya di hutan kami,” ia hanya bisa berdoa.

image

-cak Brewok(skesta)-

……

Moci yang sedari pagi mengikuti jejak Hasan dan Husin kini sedang kebingungan, pasalnya mereka menghilang diantara rumah-rumah penduduk, Moci tidak bisa memantaunya dari atas karena tertutup oleh atap genteng rumah-rumah penduduk. Moci mulai menurunkan ketinggian terbangnya, ia berputar-putar di atas kampung, mencoba mencari-cari kedua pemburu itu, sambil mencari tempat untuknya beristirahat.

                Dia mencoba turun, lalu bertengger di salah satu atap rumah yang paling tinggi disana. Bola matanya berputar-putar, tak ada satu celah semut pun yang luput dari penglihatannya, namun wujud kedua pemburu dan  orang tuanya belum juga ditemukan. Ia hampit putus asa, air matanya menetes dari kedua mata kecilnya, ia sangat sedih, “Ya Tuhan, dimanakah kedua orang tua hamba, tunjukkanlah, Moci sangat sayang dengan mereka,” Moci berdoa pada Tuhan sambil menahan tangisnya. Moci kelelahan, ia beristirahat dengan berteduh dibawah cerobong asap rumah, ia terlampau capek kali ini. Ia kelaparan, dan hanya memunguti biji-bijian kering yang dibawa angin, tubuhnya kali ini terlihat sangat kurus.

                “Gubrak!” tiba-tiba ia mendengar suara tumbukan keras, jantungnya berdegup kencang, ia masih trauma dengan kejadian saat pertemuannya dengan ular sehingga terkaget ketika mendengar suara yang kencang dan menggelegar. Moci segera menoleh ke belakang, dilhatnya seekor kucing baru saja melompat dari atas cerobong asap ke genteng, ia berlarian kencang, mengejar seekor tikus yang menjadi buruannya. Nampaknya ia sedang begitu kelaparan di siang yang panas ini. Tiba-tiba sang kucing berhenti dari larinya, ia sepertinya melihat keberadaan Moci yang tertegun di atas atap. Sang kucing berbalik arah menuju kearah Moci, matanya tampak liar, kelaparan, buntutnya dikibas-kibaskan dan ia berjalan perlahan mendekatinya.

                Moci sedikit ketakutan, kucing ini nampak begitu menyeramkan, taringnya begitu tajam untuk mengoyak tubuhnya yang mungil, matanya begitu mencolok, menyilaukan ketika terkena sinar matahari, badannya yang gempal bercorak warna separuh bagian atas hitam dan bagian bawahnya putih, cakarnya yang tajam belum sempat dimasukkan ke kaki-kakinya semenjak ia mengejar buruannya tadi.

image

-moci bertemu seekor kucing(sketsa)-

——–Bersambung dulu yaaaa teman-teman..tunggu kisah berikutnya ;) ——

No comments

Powered by Blogger.