Skip to main content

Posts

Angan dan Bukit bintang

Hello world, Seperti biasa, saya selalu menghabiskan sore saya di bukit bintang, tempat dimana saya bisa tenang berbicara dengan nurani dan hati kecil, tak ada tempat sebaik ini sehingga saya begitu nyaman berlama-lama setiap harinya. 300 meter Dibawah sana adalah kota harapan, kota milik seluruh warga yang mendambakan kebahagiaan dan kesejahteraan, indah sekali menikmatinya dari sini. Aku terbiasa berbaring dengan santai, di atas ilalang dan rumput yang hijau sepanjang musim, sambil mamandangi langit yang selalu biru, menentramkankan pikiran dan jiwa, cobalah. Menyenangkan sekali mereka-reka masa depan dari sini, membayangkan nantinya bakal menjadi apa, seperti apa, berbuat apa dimasa depan, dengan siapa saja kita melewati dan menghabiskan sisa hidup. Berada bersama ditengah anak-anak di panti asuhan , memberikan cerita, berbagi tawa dan kebahagiaan, serta berbagi ilmu dengan mereka adalah hal yang sangat menarik. Berbincang dengan salah satu atau dua diantaranya, berbagi kisah, ...

Mijah,

Sudah sebulan lebih kehidupan di rumah ini berjalan terasa berbeda. Suamiku terasa sebagai orang lain bagiku, ia bukanlah lelaki yang dulu ku kenal adanya. Lebih banyak diam, tak pernah sedikitpun menyapaku, seolah menganggap aku tak ada, tiada suaranya kudengar ketika ia di rumah selain batuknya di malam hari ketika ia baru pulang bekerja. Ia mulai banyak sakit-sakitan. Aku amati wajahnya terlihat lima tahun lebih tua dari umurnya yang 37, berkumis tebal dengan jenggot lebat yang tidak pernah bercukur, rambutnya pun kian banyak yang putih. Tubuhnya yang dulu kekar kini terlihat kurus kuyu, hanya betisnya yang masih tampak kencang karena ia selalu mengayuh sepeda puluhan kilometer menuju pabrik setiap harinya. Namun kini ia tampak lebih rajin bekerja daripada dahulu, sekarang setiap selesai shalat shubuh ia sudah menyalakan tungku, memasak air. Lalu ia bersiap berangkat, setengah enam kurang dua puluh biasanya ia sudah mengeluarkan sepedanya, mengelapnya dan memarkir disandarkan pa...

Mardikun,

Matahari telah lewat dari sepenggalah yang lalu, setengah siang sudah berlalu, aku kembali melirik jam, hadiah ulang tahun dari istriku, pada pergelangan tangan kiri. Buru-buru kuambil sepeda kumbangku, kukayuh begitu kencang, menerjang angin yang berdebu. Siang ini matahari begitu terik, dan aku tak percaya kalau hanya satu matahari yang bersinar di atas sana. Jalanan di desa belum beraspal, kerikil dan batu menyulitkanku mengayuh. Sepanjang jalan aku bersiul dan bersenandung, mencoba mengalihkan perhatian dari panas yang membakar kulit kepala, topiku tertinggal di rumah. Biasanya di persimpangan kampung kutemui penjual es buah, aku berhenti sejenak, kuraba saku kiri belakangku, kutemukan delapan ribu rupiah. Ah, cukup untuk membeli 2 bungkus es pikirku, sisanya masih bisa untuk membeli sayur dan lauk tempe tahu hari ini. Kembali kukebut sepeda reyotku, sepeda biru tua merk phoenix ini adalah warisan satu-satunya dari ayahku dulu, warna birunya sudah jauh memudar, rantainya yang be...